Opini Karaganov melebar lebih jauh. Ia berpendapat bahwa jika negara-negara barat mengabaikan peringatan Rusia yang semakin mengerikan, misalnya seperti seruan publik kepada semua warga Rusia dan "orang-orang yang punya niat baik" untuk meninggalkan wilayah-wilayah tertentu di negara-negara barat. Rusia seharusnya benar-benar "menyerang sekelompok target di negara-negara tertentu."
Ini adalah pilihan moral yang mengerikan: "Kita memakai 'senjata Tuhan' dan menghukum diri sendiri dengan kerusakan rohani yang lebih parah. Namun jika tidak melakukannya, Rusia bisa musnah. Terlebih seluruh peradaban manusia kemungkinan besar akan berakhir.
Permainan yang dilakukan di sini, sudah jelas, adalah permainan polisi baik/polisi jahat yang sudah teruji oleh waktu. Vladimir Putin, yang menggunakan pidato kenegaraannya pada 2018 untuk mengancam AS dengan senjata hipersonik baru Rusia, kini berperan sebagai polisi yang baik. Di St. Petersburg Economic Forum pekan lalu, saat moderator mendesaknya memberikan pandangan tentang penggunaan senjata nuklir, Putin mencoba menepis pertanyaan. "Apa yang ingin ia dapatkan dari saya, atau memaksa saya untuk bicara? Untuk menakut-nakuti seluruh dunia? Tapi kenapa kami ingin menakut-nakuti dunia?"
Pesan serius dari pernyataan Putin di forum tersebut adalah bahwa senjata nuklir dimaksudkan untuk menangkal ancaman yang ada dan Rusia saat ini masih belum menghadapinya. Ia juga mengungkapkan bahwa dia telah mengerahkan "muatan nuklir pertama" ke Belarusia, dan akan lebih banyak lagi dalam waktu yang akan datang. Mungkin sinyal tarik-ulur juga dirancang untuk menghidupkan kembali ketakutan seperti di era Perang Dingin.
Sebelum invasi Februari 2022 dan saat dimulainya invasi, fungsi dari rasa takut dalam perencanaan militer Rusia adalah untuk membatasi bantuan militer Barat ke Ukraina. Sehingga, Rusia dapat mempertahankan keunggulan dalam medan perang.
Sebelum mantan Presiden AS Donald Trump mengesahkan pasokan sistem antitank Jevelin ke Ukraina, Kremlin mengisyaratkan menganggap langkah seperti itu sebagai eskalasi. Tapi kemudian, setelah Rusia menginvasi dan Javelin digunakan untuk mencegah kendaraan lapis baja Rusia masuk ke Kyiv dan wilayah utara Ukraina, apa yang seharusnya menjadi 'garis merah' dengan cepat terlupakan.
Yang berikutnya diungguli adalah ketika AS memasok peluncur rudal HIMARS untuk mengimbangi keunggulan Rusia dalam artileri jarak menengah; satu lagi telah menghilang setelah negara-negara NATO mengirimkan tank dan kendaraan lapis baja lainnya. Keunggulan senjata utama Rusia terakhir yang masih ada adalah daya tembak jarak jauh--misil Rusia dapat mencapai bagian manapun di Ukraina--dan pada pesawat berawak helikopter Ka-52, khususnya, telah terbukti menjadi penghalang berat bagi serangan balik Ukraina saat ini, sementara pesawat tempur Rusia telah menyebabkan kerusakan parah dengan bom dan rudal yang dipandu.
Tanggapan Rusia terhadap eskalasi pasokan senjata sebelumnya secara konsisten mengecewakan: Rusia hanya beradaptasi dengan kehilangan satu demi satu kartu truf. Hal ini mendorong Inggris mempersenjatai Ukraina dengan rudal Storm Shadow jarak jauh, yang sulit ditembak jatuh oleh Rusia. Koalisi G-8 ditambah AS, memulai persiapan aktif. Termasuk pelatihan pilot untuk penyerahan pesawat tempur F-16.
Dan mengapa tidak melakukan serangan nuklir? Karena meskipun Rusia telah mengeluarkan ancaman nuklir secara teratur, ia tidak pernah secara langsung menghubungkannya dengan pasokan sistem sejata khusus atau dengan pembangunan apapun pada daratan Ukraina. Atau bahkan di wilayah Rusia yang diakui secara internasional, yang baru-baru ini menerima serangan dari Ukraina.
Putin terus memposisikan diri sebagai korban mengeluh bahwa negara-negara barat menipunya pada 2015 lewat mediasi perjanjian Mink yang tidak bisa dijalankan. Dalam sebuah pertemuan dengan delegasi para pemimpin perdamaian Afrika pekan lalu, ia memutar cerita tentang kepalsuan, dengan mengatakan bahwa Ukraina telah menyetujui kesepakatan damai pada Maret 2022 yang akan memperkuat netralitas militer Ukraina--namun dibatalkan atas permintaan negara-negara barat, tak lama setelah Moskow menarik kembali pasukannya dari Kyiv dengan niat baik. Namun, seandainya kisah-kisah ini benar, hal itu akan berdampak buruk pada penilaiannya. Mereka menyampaikan keluhan, namun tidak memberikan garis merah tertentu.
Di mata sejumlah analis barat, hal tersebut mengurangi kredibilitas peringatan nuklir Rusia. "Penelitian saya menunjukkan bahwa ancaman paling kredibel adalah ketika diulang dan dikaitkan dengan kondisi tertentu (seperti tindakan di daratan dalam perang Rusia-Ukraina)," tulis Lauren Sukin dari London School of Economics and Political Science, yang analisisnya sebagian didasarkan pada studi ekstensifnya tentang ancaman nuklir Korea Utara. "Sebaliknya, ancaman satu kali atau ancaman tentang masalah terkait (seperti keanggotaan NATO atau kebijakan yang lebih keras) seharusnya tidak terlalu kritis."
Dengan kata lain, agar dianggap serius, garis merah tersebut harus sespesifik. Namun, ada kerugian saat menjadi lebih spesifik bagi Kremlin. Jika dikatakan dengan jelas bahwa mengirim sistem senjata tertentu ke Ukraiana akan mengundang tanggapan nuklir, aliran pemikiran analitis di Barat yang berpendapat Rusia tidak akan pernah benar-benar menggunakan senjata nuklir memang benar. Kemudian, Putin akan dituntut melakukan gertakannya dan membuatnya harus melakukan "pilihan moral yang mengerikan" yang dijelaskan dalam opini Karaganov--situasi yang sebisa mungkin dihindari, dengan membuat petunjuk nuklirnya tidak jelas.
Di sinilah orang-orang seperti Karaganov--atau untuk kepentingan konsumsi domestik, para komentator fanatik di televisi pemerintahan yang mengancam akan mengubah Washington menjadi tumpukan abu nuklir--akan berguna. Pembicara dan penulis multibahasa tersebut selalu digunakan untuk mengirim pesan ke negara-negara barat, dengan jalur komunikasi diplomatik yang normal hampir terputus, mereka adalah salah satu dari sedikit cara yang tersisa untuk memberikan pesan yang lebih keras dari yang disampaikan oleh Putin.
Pesan tesebut masih terdengar samar-samar, jika bicara tentang garis merah. Tidak jelas apakah tindakan yang akan dilakukan oleh negara-negara Barat akan mmemaksa Rusia untuk menggunakan "senjata Tuhan". Hal itu memang mengisyaratkan target tertentu. "Hanya jika ada orang gila di Gedung Putih yang membenci negaranya sendiri, AS akan memutuskan untuk menyerang 'pertahanan' orang Eropa, mengundang tanggapan dan mengorbankan, katakanlah, Boston untuk, katakanlah, Poznan," tulis Karaganov, menambahkan bahwa sementara dunia mungkin ketakutan oleh serangan nuklir terbatas Rusia, reaksi secara bertahap akan mereda ketika negara-negara barat tepat berada di tempatnya.
Alasan Karaganov mudah untuk dibalikkan: Hanya orang gila yang membenci Rusia di Kremlin yang akan menghancurkan negara tetangga, salah satu anggota NATO. Namun di situlah petunjuk di balik pembicaraan tentang Tuhan dan "kerusakan spiritual" yang berat namun bisa diterima: kita mungkin cukup sama gilanya untuk melakukan ini!
Sayangnya untuk Putin, ia belum bertindak cukup gila, setidaknya sejak melakukan invasi. Sejak langkah irasional tersebut, ia sibuk mengoceh, berpura-pura dan mempercayai propagandanya sendiri. Singkatnya, ia lebih terlihat bersemangat untuk mengalihkan kesalahan daripada menggandakan citra sebagai durjana, predator tanpa kompromi atau mistikus fanatik. Jika ia berhasil memainkan salah satu peran dengan meyakinkan, ia mungkin tidak perlu memberikan garis merah yang jelas. Karena itu, kedangkalan kejahatan justru membuatnya menjadi buruk. Ketakutan bukan sumber daya alam, dan dia kurang meyakinkan dalam menakut-nakuti. Menggunakan pembawa pesan seperti Karaganov untuk melontarkan retorika mesianis tidak akan menghapus kegagalan tersebut.
Baik Ukraina maupun negara-negara barat tampaknya sudah benar dalam menghadapi doktrin Rusia: tidak ada nuklir yang akan diterbangkan sampai Rusia menghadapi ancaman eksistensial, seperti invasi besar-besaran ke wilayahnya yang diakui secara internasional. Tidak peduli apa yang dikatakan Kremlin dan berbagai utusannya, upaya Ukraina untuk membebaskan wilayahnya sendiri tidak menimbulkan ancaman seperti itu, bahkan bagi Putin.
(bbn)