Keputusan pemerintah menaikkan tukin dan menambah hari libur demi mendongkrak konsumsi masyarakat ditempuh di tengah perlambatan ekonomi domestik yang membutuhkan stimulasi agar tidak sampai terperosok lebih dalam.
Di kala kelesuan permintaan global telah membuat aktivitas manufaktur dan industri kurang darah, juga penurunan harga komoditas global yang mengakhiri periode windfall komoditas, menggenjot konsumsi adalah salah satu strategi kunci mengingat konsumsi rumah tangga adalah motor utama pertumbuhan dengan sumbangan mencapai 52,88% Produk Domestik Bruto.
Dampak Tak Signifikan
Akan tetapi, harapan bahwa kebijakan itu bisa berdampak signifikan bagi peningkatan konsumsi rumah tangga dinilai terlalu jauh. Pasalnya, kenaikan tukin hanya dinikmati oleh ASN/PNS di tiga kementerian/lembaga.
Mengacu pada data Kemenpan-RB, jumlah pegawai hanya 640 orang per 1 Juli 2022. Sedang BPKP tercatat 5.810 orang, disusul jumlah pegawai di Kementerian PPN/ Bappenas sekitar 2.400 orang. Total sumber daya manusia di tiga lembaga itu tak sampai 10.000 personel.
Dengan jumlah orang tidak banyak dan besar tukin antara Rp2,57 juta sampai Rp41,55 juta, dampaknya dinilai belum akan signifikan mendongkrak konsumsi rumah tangga.
"Belum akan berdampak pada konsumsi domestik. Perkiraan saya konsumsi domestik masih akan stabil di kisaran 4,54% saja." komentar Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas.
Berkaca pada Lebaran pada April lalu, pesimisme itu cukup beralasan. Ketika itu pemerintah juga menggelontorkan Tunjangan Hari Raya (THR) dan 50% tunjangan kinerja bagi para ASN/PNS.
Pegawai swasta juga mendapatkan THR dari perusahaan masing-masing. Namun, sejauh yang terlihat, dampak terhadap daya beli terlihat minim.
Malah pada April lalu, inflasi inti yang kerap dipandang juga sebagai ukuran daya beli masyarakat, tercatat turun tipis di kisaran 2,83% dibanding bulan sebelumnya 2,84%. Bahkan pada Mei, inflasi inti semakin anjlok ke posisi 2,66%.
Pertumbuhan omzet ritel modern pada periode Idul Fitri lalu juga tercatat hanya tumbuh 0,15% year-on-year, berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia. Libur lebaran yang panjang membuat masyarakat lebih banyak menghabiskan THR mereka untuk biaya transportasi dan akomodasi, dan lebih selektif berbelanja kebutuhan dapur, demikian menurut analisis para pengusaha ritel.
Ketika libur lebih panjang ditambah adanya ekstra penghasilan yang didapatkan sebagian masyarakat, beberapa sektor usaha semestinya menikmati berkah terbesar, seperti sektor usaha pariwisata, transportasi, penyediaan akomodasi dan makan minum, juga mungkin sektor informasi dan komunikasi.
Namun, perlu diingat, menilik historis, sumbangan sektor-sektor tersebut pada pertumbuhan ekonomi nyatanya tidak terlalu besar. Jauh lebih besar sumbangan industri manufaktur yang nilai sumbangannya hampir 20% PDB pada 2022 lalu.
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik, sumbangan sektor penyediaan akomodasi dan makan minum pada PDB sejauh ini sangat kecil, tak sampai 3%. Pada kuartal 1-2023, sumbangan sektor tersebut tercatat hanya 2,46%.
Lalu, sektor transportasi dan pergudangan 5,56%. Sedangkan sektor informasi dan komunikasi sebesar 4,19%.
Sedang bila melihat laju pertumbuhan, sektor penyediaan akomodasi dan makan minum pada kuartal I lalu tercatat tumbuh negatif -2,28% secara kuartalan dan 11,55% year-on-year, lalu sektor transportasi dan pergudangan -0,11% dan 15,93% secara tahunan. Kemudian, sektor informasi dan komunikasi berhasil tumbuh positif bagi kuartalan sebesar 0,21% dan tahunan 7,19%.
Dengan demikian, berharap bahwa libur yang lebih panjang serta penggelontoran tunjangan kinerja bagi sebagian kecil pegawai pemerintahan dapat mendongkrak konsumsi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi, mungkin terlalu jauh. Sebaliknya, libur terlalu panjang justru berisiko menurunkan aktivitas manufaktur yang bisa berdampak pada semakin lambatnya pertumbuhan ekonomi.
Di tengah masih lesunya perekonomian global yang masih dihantui tren bunga tinggi, hal itu seharusnya lebih ditakutkan oleh para pembuat kebijakan.
(rui)