Dengan level BI7DRR saat ini di 5,75% dan FFR di kisaran 5,1%-5,25%, selisih bunga acuan tinggal 50-65 bps saja. Bila The Fed masih akan menaikkan 50 bps lagi sampai akhir tahun ini, sebagaimana ekspektasi pelaku pasar surat utang, maka selisihnya akan semakin menyempit tinggal 10 bps saja. Itu dapat membawa implikasi pada yield Surat Utang Negara.
Hari ini, yield Surat Utang Negara (SUN/INDOGB) tenor 10 tahun berada di 6,309%, sedikit turun dibanding posisi penutupan kemarin. Adapun US Treasury 10 tahun berada di kisaran 3,736%. Level tersebut mencerminkan selisih yield hanya 257 bps.
Selisih di bawah 300 bps dinilai kurang kompetitif bagi pemodal untuk membeli surat utang RI. Para investor akan lebih memilih US Treasury sejurus dengan peringkat kredit dan risiko investasi aset Amerika yang sejauh ini masih mengungguli aset rupiah.
Apabila selisih yield semakin sempit, pemodal asing tidak akan segan hengkang dari Indonesia dan membuat nilai tukar rupiah semakin terperosok. Dampak pelemahan nilai tukar bisa kemana-mana dan melukai capaian perekonomian domestik yang sejauh ini cukup stabil.
Pekan lalu saja, pemodal asing mencatat net sell Rp2,38 triliun dari pasar keuangan RI, yaitu Rp640 miliar di pasar SBN dan Rp1,74 triliun di pasar saham, menurut data Bank Indonesia.
Di saat yang sama, nilai cadangan devisa RI Mei lalu sudah cukup banyak terkuras hampir US$ 5 miliar, menjadi penurunan terbesar sejak pandemi pertama kali meletus Maret 2020. Penurunan cadangan devisa pada Mei lalu juga menjadi yang terbesar di antara negara-negara Asia, menekankan perlunya keseimbangan yang hati-hati dalam tindakan intervensi selanjutnya oleh BI dalam menghadapi depresiasi rupiah.
"Setelah permintaan dolar AS memuncak Mei-Juni ini, tekanan ke rupiah akan mereda namun ada alasan bersikap defensif dalam waktu dekat karena USD/IDR mungkin pertama kali akan menguji level Rp15.300-Rp15.500/US$, sebagian besar dipengaruhi oleh faktor domestik," jelas Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas.
Rilis data neraca dagang yang melaporkan penurunan nilai surplus yang sangat besar yaitu dari US$ 6,5 miliar pada April menjadi US$ 440 juta Mei lalu, memicu kekhawatiran pelaku pasar terkait tak terkendalinya defisit transaksi berjalan (current account).
Selain kekhawatiran terhadap defisit transaksi berjalan, pertumbuhan kredit yang semakin lambat bahkan mencapai angka terendah sejak Maret tahun lalu, juga memicu sentimen negatif. Keyakinan industri dan aktivitas manufaktur kompak melemah.
Baca juga: Insentif Pajak Rumah Subsidi, 'Obat Kuat' di tengah Perlambatan Ekonomi
Terakhir, pemerintah memutuskan menaikkan batas harga jual rumah tapak yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi Rp162 juta-Rp234 juta untuk tahun ini dan sebesar Rp166 juta-Rp240 juta untuk 2024, menjadi langkah yang diharapkan bisa membawa multiplier effect pada pertumbuhan ekonomi khususnya di sektor konstruksi dan properti. Sebelumnya, batas harga ditetapkan di angka Rp150,5 juta hingga Rp219 juta.
Dengan kebijakan bebas PPN untuk rumah tapak tersebut, sektor konstruksi diharapkan dapat bergairah dan membantu laju pertumbuhan pembiayaan atau kredit rumah bersubsidi khususnya yang menyasar kategori konsumen berpendapatan bawah dan menengah-bawah. Maklum sejauh ini pertumbuhan sektor konstruksi dan real estat pada kuartal 1-2023 masih sangat kecil. Yaitu masing-masing sebesar 0,32% dan 0,37 secara tahunan.
Sedang dibandingkan kuartal sebelumnya, sektor konstruksi tumbuh negatif -2,49% dan sektor real estat juga cuma tumbuh 0,01% secara kuartalan. Laju investasi (PMTB) pada kuartal 1 lalu juga negatif -3,72% meski masih tumbuh 2,11% secara tahunan.
(rui)