IMF mengingatkan, di tengah tingkat kekebalan komunitas yang masih rendah dan kapasitas rumah sakit yang belum memadai terutama di luar kota-kota besar, masalah kesehatan masyarakat bisa menjadi penghambat signifikan pemulihan ekonomi Tiongkok. Krisis mendalam di sektor real estate tetap menjadi sumber utama kerentanan ekonomi dengan risiko gagal bayar yang kian meluas dan bisa memicu ketidakstabilan sektor keuangan.
2. Eskalasi konflik Rusia-Ukraina meningkat
Eskalasi perang di Ukraina tetap menjadi sumber utama kerentanan ekonomi global terutama bagi kawasan Eropa dan negara-negara berpenghasilan rendah. Eropa menghadapi harga gas yang lebih rendah yang yang diperkirakan pada tahun lalu, dan berhasil membangun pasokan yang memadai untuk mengantisipasi musim dingin. Namun, mengisi ulang pasokan itu dengan menghapus Rusia dari rantai pasokan, akan menjadi tantangan tersendiri jelang musim dingin mendatang terlebih jika suhu sangat dingin. Juga, ada risiko kenaikan harga bila permintaan dari China seiring pemulihan ekonomi mereka.
Risiko dari faktor kedua ini juga dapat memicu kenaikan harga pangan lebih lanjut dan akan berimbas pada negara-negara miskin. Ini bisa memicu krisis pangan dan keresahan sosial.
3. Lonjakan utang
Sejak Oktober 2022, selisih yield surat utang untuk pasar negara berkembang dan negara berkembang telah sedikit menurun didukung pelonggaran kondisi keuangan global dan pelemahan otot dollar AS. Sekitar 15% negara-negara berpenghasilan rendah berada dalam tekanan utang dengan tambahan 45% berisiko tinggi terjungkal juga ke krisis utang. Sekitar 25% pasar negara berkembang juga berada dalam tingkat risiko tinggi.
Kombinasi dari utang segunung, pertumbuhan ekonomi rendah dan tingginya bunga pinjaman, menjadikan perekonomian negara-negara tersebut sangat rentan, terutama mereka yang membutuhkan pembiayaan dolar jangka pendek dalam jumlah signifikan.
4. Inflasi tinggi terus menghantui
Situasi pasar tenaga kerja yang terus mengetat dapat memicu tekanan kenaikan upah lebih kuat dari perkiraan. Harga minyak, gas dan makanan juga bisa lebih tinggi dari perkiraan akibat perang Ukraina atau terpicu oleh lonjakan permintaan dari China pasca pembukaan lagi ekonomi mereka. Kesemua itu berisiko melesatkan lagi inflasi dan menuntut kebijakan moneter lebih ketat.
5. Penetapan harga pasar keuangan secara tiba-tiba
Pelonggaran moneter oleh bank sentral yang terlalu prematur dalam merespon inflasi yang mulai melandai, dapat memperumit kebijakan anti inflasi yang sudah berjalan saat ini. Itu bisa memicu pengetatan moneter tambahan.
Untuk alasan yang sama, menurut IMF, rilis data inflasi yang tidak menguntungkan bisa memicu repricing aset secara tiba-tiba dan meningkatkan volatilitas pasar keuangan. Situasi seperti itu dapat membebani likuiditas global dan fungsi pasar dan pada akhirnya bisa berdampak pada sektor riil.
6. Fragmentasi geopolitik
Perang di Ukraina dan sanksi internasional yang ditujukan untuk menekan Rusia agar segera mengakhiri perang, telah memecah dunia dalam banyak kubu dan meningkatkan ketegangan geopolitik. Ini yang terlihat misalnya dalam sengketa dagang antara AS dan China. Fragmentasi geopolitik bisa terus meningkat dan itu akan menghambat kerja sama antar negara dalam penyediaan barang-barang konsumen global. Fragmentasi juga akan meminta biaya yang sangat mahal dalam jangka pendek.
(rui/aji)