"Kami melihat pengetatan likuiditas global sebagai risiko makro terbesar saat ini, karena berlanjutnya quantitative tightening (QT) Fed dan pengisian ulang Treasury General Account (TGA) Amerika, bertepatan dengan penerbitan lebih banyak surat utang AS setelah kesepakatan plafon utang," jelas Satria Sambijantoro, ekonom Bahana Sekuritas.
Kondisi makro ekonomi Indonesia sebenarnya cukup kondusif, salah satu indikasinya adalah inflasi yang terus terkendali melandai dan kini berada di batas atas target bank sentral.
"Namun, penurunan drastis surplus neraca dagang pada Mei lalu memicu kekhawatiran akan defisit neraca berjalan di mana sentimen itu jadi lebih kuat karena pada saat yang sama BI tengah kesulitan menahan tekanan yang dialami rupiah," jelas Macro Strategist Samuel Sekuritas Lionel Prayadi.
Dengan lanskap pengetatan likuiditas global, analis menilai, saat ini bukanlah saat yang ideal untuk memulai diskusi tentang siklus pemangkasan bunga acuan BI7DRR kendati inflasi domestik terus melandai.
BI akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Kamis pekan ini untuk menentukan tingkat baru bunga acuan BI7DRR. Di tengah sinyal perlambatan perekonomian domestik yang semakin kuat, stimulasi dari sisi moneter sepertinya masih belum bisa dirilis menyusul risiko tekanan yang dihadapi rupiah saat ini akibat outlook bunga global.
Prediksi Bunga Fed
The Fed memang melontarkan pernyataan hawkish bahkan secara gamblang menyebut akan kembali ke 5,6% untuk mengerek inflasi agar terus turun ke targetnya yaitu 2%.
"Level 5,6% cukup konsisten dan bila Anda berpikir tentang hal itu, di mana FFR diperdagangkan di level itu sebelum insiden perbankan pada Maret lalu. Jadi, kami sepertinya akan kembali ke sana," kata Powell seperti dilansir Bloomberg News.
Dengan posisi FFR saat ini ada di kisaran 5,1%-5,25%, maka angka yang disebutkan oleh Powell mencerminkan dua kali kenaikan lagi hingga akhir tahun.
Namun, di sisi lain, Fed juga menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS tahun ini yaitu dari dari 0,4% menjadi 1,1%. Dengan kata lain, The Fed memupus habis risiko resesi negeri itu, dalam penilaian terakhirnya dan cenderung memakai skenario soft landing.
Di mata analis dan pelaku pasar, dua hal yang bertentangan itu yaitu kebutuhan menaikkan bunga acuan hingga 2 kali di saat yang sama menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi, menimbulkan pertanyaan mengenai fisbilitas soft landing.
"Pasar menangkap kejanggalan tersebut dan saat ini memproyeksi kenaikan bunga terminal 25 bps ke 5,5% hingga akhir 2023," jelas Lionel.
Untuk Juli nanti, keputusan menahan FFR oleh The Fed akan bergantung pada sejumlah data ekonomi seperti data pasar tenaga kerja Juni dan inflasi CPI Juni ini.
Juga, apabila rilis data PMI sektor manufaktur dan jasa dari developed market menunjukkan perlambatan ekonomi, hal ini akan menjadi berita positif karena menguatkan kemungkinan bagi the Fed menahan suku bunga acuan FFR di tingkat 5,25%.
(rui/sor)