Sementara Perdana Menteri Rishi Sunak menepis anggapan bahwa Brexit malah merugikan Inggris sendiri. Menurutnya, berbagai peluang yang muncul dari Brexit mulai terwujud.
“Kita sudah memiliki kesehatan dan mampu mengatasi berbagai tantangan. Laju pemberian vaksin paling cepat di Eropa, menyepakati perjanjian dagang dengan lebih dari 70 negara, mengontrol sendiri wilayah perbatasan, kita telah menempa jalur menuju bangsa yang merdeka dengan penuh percaya diri,” jelasnya.
Bloomberg Economics menyadari menghitung output ekonomi yang hilang akibat Brexit tidaklah mudah. Apalagi terjadi perubahan besar di Uni Eropa akibat pandemi Covid-19.
Namun, sudah jelas bahwa performa ekonomi Inggris selepas Brexit mulai menjauh dari negara-negara G-7. Penyebabnya adalah dunia usaha menahan investasi karena belum tahu bagaimana kehidupan setelah pisah dari Uni Eropa.
Saat ini rasio investasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Inggris adalah 9%. Lebih rendah dibandingkan rata-rata negara G-7 yaitu 15%.
Perekonomian Inggris juga didera masalah kekurangan pekerja. Hanson dan Andrade memperkirakan Brexit membuat tenaga kerja Uni Eropa di Inggris berkurang 370.000.
“Kekurangan pekerja menyebabkan tekanan inflasi dan meredam potensi pertumbuhan ekonomi. Ini bukan kabar bagus bagi negara yang menghadapi prospek jangka panjang yang suram dengan tren pertumbuhan ekonomi hanya sedikit lebih dari 1%,” tulis Andrade dan Hanson.
Namun saat bicara perdagangan, dampak Brexit tidak terlampau parah. Bahkan mungkin Brexit tidak terlalu berdampak.
“Namun dalam jangka panjang kami memperkirakan perdagangan akan merasakan dampak dari meninggalkan pasar tunggal,” sebut Andrade dan Hanson.
(bbn)