Logo Bloomberg Technoz

"Perusahaan aluminium China harus keluar dari China kalau mereka ingin berkembang, mengingat adanya batasan kapasitas plafon," kata Wan Ling, analis di CRU Group via telepon dari Beijing.

Produser Top

China menyumbang lebih dari setengah produksi aluminium global setelah pertumbuhan yang sangat tinggi. Namun, ekspansi akan terhenti karena telah mencapai kapasitas maksimum tahunan sebesar 45 juta ton. Kebijakan tersebut diberlakukan oleh Beijing untuk mencegah kelebihan pasokan dan menyingkirkan pabrik yang lebih tua dan tidak efisien.

Sementara itu, Indonesia berusaha melepaskan diri dari ekspor komoditas mentah dengan memaksa produsen melakukan pengolahan dan manufaktur di lepas pantai. Larangan ekspor atas cadangan bauksitnya yang berlimpah baru berlaku bulan ini.

Perusahaan-perusahaan China telah mengoperasikan kilang alumina di Indonesia, sebuah langkah perantara di mana bauksit diproses menjadi produk antara (intermediate product).

Smelter pertama milik China yang dibangun di luar negaranya kini berada di Sulawesi, yang mulai beroperasi pada Mei. Smelter tersebut merupakan perusahaan patungan (joint venture) antara Huafon Group, produsen bahan kimia, dan Tsingshan. Mereka menargetkan 2 juta ton kapasitas.

Shandong Nanshan Aluminium Co., salah satu pembuat logam terbesar di China, berencana menyelesaikan pembangunan smelter berkapasitas 250.000 ton di pulau Bintang pada tahun 2026. Asosiasi indurstri logam terkemuka di China memperhitungkan bahwa perusahaan tersebut punya rencana tentatif untuk membangun 10 juta ton kapasitas tahunan di Asia Tenggara, terutama di Indonesia.

Jejak Karbon

Namun, para analis memberikan perhatian akan potensi Indonesia menjadi pusat utama industri aluminium bila caranya sama seperti produksi nikel.

Pertama, smelter di Indonesia akan bergantung pada tenaga batu bara. Hal ini kontras dengan gerakan global, yang juga disetujui oleh China, untuk menggunakan lebih banyak energi terbarukan dalam menjalankan industri.

Grafik dominasi batu bara dalam industri di Indonesia. (Sumber: Bloomberg)

"Tantangan terbesarnya adalah pasokan listrik berbahan bakar batu bara, yang dominan di Indonesia dan memiliki emisi yang tinggi," kata Wang Yanchen, analis di Shanghai Metals Market. Proyek-proyek tersebut pada akhirnya akan menghadapi kesulitan dalam menjual aluminium karena seluruh dunia sedang bergerak menuju industri logam hijau.

Contohnya, Uni Eropa akan memperkenalkan mekanisme yang membebankan bea impor berdasarkan jejak karbon suatu produk di tahun 2026. Yudiriksi lain seperti AS dan Inggris kemungkinan akan mengikutinya.

'Cerita Berbeda'

Membuat aluminium menyumbang sekitar 4% dari emisi karbon di China, namun sebagian besar kapasitas baru dalam beberapa tahun terakhir dibangun di provinsi, seperti Yunnan atau Sichuan, di mana listrik berasal dari pembangkit listrik tenaga air. Menurut peneliti di Beijing Antaike Development Co., sudah sekitar 19% dari kapasitas aluminium China bertenaga air.

Kedua, ledakan nikel di Indonesia sebagian besar dimotivasi oleh prospek ledakan permintaan dalam beberapa dekade mendatang, terutama dari baterai. Aluminium tidak memiliki dorongan permintaan yang sama.

Ketiga, China secara struktural lebih bergantung pada impor Indonesia untuk kebutuhan nikelnya daripada aluminium. Perusahaan China berinvestasi di Indonesia untuk memastikan mereka memiliki pasokan nikel karena Indonesia melarang ekspor bijih selama satu dekade terakhir. Indonesia hanya memasok 15% dari impor bauksit di China tahun lalu, yang artinya larangan tersebut kurang berdampak.

"Ini cerita yang berbeda dari nikel," kata Zhu Yi, seorang analis Bloomberg Intelligenc. "Ke depannya hasil untuk aluminium tidak akan sebesar ini."

(bbn)

TAG

No more pages