Sementara perubahan pola pikir tersebut disambut baik oleh pemerintah yang berusaha mengendalikan pembelian spekulatif, risiko kemerosotan yang lebih dalam meningkat di tengah ekonomi yang semakin kehilangan momentum. Dalam jangka panjang, pemerintah bisa saja mengalami kesulitan untuk mencari pengganti real estat sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi China.
"Tekanan harga jual benar-benar menumpuk di Shanghai," kata Jun Li kepala investasi di Power Sustainable (Shanghai) Investment Management, sebuah perusahaan finansial Kanada. "Tampaknya pemilik rumah telah mencapai konsensus bahwa pasar properti sudah mencapai puncaknya."
Penjualan
Song, seorang bankir yang baru-baru ini menjual apartemennya di distrik Jing'an, Shanghai seharga sekitar 10 juta yuan (kurang lebih Rp21 miliar), mengatakan ia melihat saat ini adalah kesempatan terakhir untuk mendapatkan uang dari penjualan properti.
Pria berusia 35 tahun itu masih memiliki properti lain di China bersama keluarganya, namun ingin mengurangi eksposur di sektor tersebut karena ekspektasi pajak properti dan adanya penurunan yang berkepanjangan di sektor tersebut.
Apa yang dialami oleh Song juga sedang terjadi di seluruh negeri. Menurut data yang dikumpulkan oleh firma riset real estat China Index Academy, harga rumah yang terletak di 100 kota mencatat penurunan terbesar pada Mei, setidaknya sejak 2022.
Regulator sedang mempertimbangkan untuk mengurangi uang muka di beberapa lingkungan non-inti di kota-kota besar. Mereka juga menurunkan komisi agen untuk transaksi, dan melonggarkan pembatasan lebih lanjut untuk pembelian tempat tinggal.
Siklus yang Berbeda
Analis Goldman Sachs Group Inc. mengatakan hari-hari di mana permintaan akan properti yang melonjak di China sepertinya tidak akan kembali dalam waktu dekat.
"Siklus ini berbeda dari sebelumnya, karena pemerintah tampaknya sangat bertekad untuk tidak menggunakan sektor properti sebagai alat stimulus jangka pendek," tulis analis Goldman dalam catatan 11 Juni. "Kami yakin prioritas dalam kebijakan adalah mengelola perlambatan multitahun alih-alih merekayasa siklus naik."
Dalam jangka panjang, China mengalami pergeseran struktural karena populasinya yang menua, dan terbatasnya ruang untuk memindahkan lebih banyak orang ke kota. Tingkat urbanisasi negara diperkirakan mencapai puncaknya sekitar 75%, naik dari 64,7% pada tahun 2021--yang semuanya membebani sentimen.
Pesimisme semacam itu semakin terlihat di Shanghai setelah kebijakan pengetatan Covid yang keras dalam tiga tahun terakhir, dan melemahnya kepercayaan pada prospek ekonomi China, mendorong pemilik rumah dan penyewa untuk berkemas dan pergi.
Eksodus Shanghai
Shanghai, menjadi kota favorit perusahaan-perusahaan asing, merupakan rumah bagi seperempat populasi ekspatriat China sebelum tahun 2022. Kota ini mengalami eksodus setelah lockdown akibat Covid-19 memaksa hampir 25 juta orang terkurung di rumah selama lebih dari dua bulan.
Menurut laporan European Union Chamber of Commerce cabang Shanghai awal tahun ini, sekitar 25% orang Jerman yang tinggal di Shanghai memilih meninggalkan kota dalam kejatuhan, sementara jumlah warga Prancis dan Italia yang terdaftar di pemerintah mereka masing-masing turung 20%.
Menurut agen properti lokal bermarga Liu, harga rumah di Lianyang, lingkungan pusat kota yang populer dengan ekspatriat dan pemodal di Shanghai, mengalami penurunan 15% hingga 20% dari rekor tertinggi pada pertengahan 2021.
Yi, seorang penduduk Shanghai berusia 31 tahun, menjual rumahnya di pinggiran kota pada bulan April seharga 4 juta yuan, 11% lebih rendah dari harga awal yang ditawarkan. Berdasarkan Economic Observer, properti bekas pakai mencapai rekor penjualan tertinggi bulan tersebut di angka 200.000 unit.
"Ini pasar untuk para pembeli sekarang," kata Yi.
--Dengan asistensi dari Lulu Yilun Chen.
(bbn)