"Meskipun BI berkeinginan melonggarkan kebijakan moneter karena potensi perlambatan domestik, sinyal dari The Fed mengenai dua kenaikan lagi di masa depan menimbulkan risiko," katanya.
Sementara itu Ekonom Bank Mandiri, Faisal Rachman memandang, BI tentu akan merespons pandangan terbaru The Fed ini dengan sangat hati-hati.
Namun, Faisal mengingatkan, pengaruh transmisi suku bunga kebijakan The Fed terhadap Indonesia akan semakin nyata lewat imbal hasil obligasi pemerintah. Faisal melihat, belum ada urgensi bagi BI untuk turut menaikkan suku bunga acuan pada tahun ini. Terutama, bila imbal hasil obligasi terus menurun.
"Bila imbal hasil obligasi negara berdenominasi rupiah tenor 10 tahun terus menurun dan mendekati angka 6%, maka BI tidak perlu menaikkan suku bunga acuan," terang Faisal.
Selain itu, sebenarnya arus modal asing terus masuk ke pasar obligasi maupun pasar saham Indonesia. Plus, neraca perdagangan Indonesia tetap akan surplus, meski menyempit. Sehingga ini bisa mendukung stabilitas nilai tukar rupiah.
Di dalam negeri pun, tingkat inflasi Indonesia sudah kembali ke kisaran sasaran 2% hingga 4% YoY. Meski, berada di batas atas yaitu 4,00% YoY. Dengan kondisi tersebut, Faisal memperkirakan BI akan mempertahankan suku bunga acuan sebesar 5,75% hingga sisa tahun 2023.
Namun, ia mengingatkan, penting bagi BI untuk tetap waspada akan perkembangan ekonomi global yang terus diwarnai ketidakpastian.
(evs)