Bloomberg Technoz, Jakarta – Periode 2023 diprediksi menjadi momentum normalisasi harga batu bara, berbanding lurus dengan tren koreksi harga dan kontraksi kinerja ekspor yang ditaksir terus berlanjut hingga akhir tahun ini.
Dalam kaitan itu, para ekonom di Departemen Riset Industri dan Regional Bank Mandiri mencatat rerata harga batu bara global sepanjang tahun berjalan atau year to date (ytd) mencapai US$217,8 per ton, turun dari rerata 2022 senilai US$357 per ton.
Sampai dengan akhir 2023, harga si emas hitam diestimasikan terjerembap ke level US$168,8 per ton.
Sebagai perbandingan, rerata harga batu bara 2023 menurut konsensus ekonom yang dihimpun Bloomberg adalah senilai US$219 per ton dan diproyeksi terkontraksi ke level US$185 per ton pada 2024.
“Kami berpandangan, meskipun terkoreksi, harga [batu bara pada 2023] masih akan lebih tinggi dibandingkan dengan harga sebelum pandemi Covid-19 dan pada saat commodity boom dengan harga psikologis [saat itu yang mencapai] US$100 per ton,” papar Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro dalam laporannya, dikutip Jumat (16/6/2023).

Menurutnya, 2023 adalah “tahun normalisasi harga batu bara global” setelah mengalami lonjakan pada 2022. Ke depan, lanjutnya, tren koreksi harga batu bara di tingkat global akan dipicu oleh setidaknya empat faktor.
Pertama, normalisasi harga komoditas energi global akibat stok yang tinggi di negara-negara Eropa, China, dan India.
Kedua, ekspektasi penurunan impor batu bara oleh India dan China akibat kebijakan domestik mereka dalam meningkatkan produksi batu bara di dalam negeri.
“Ketiga, membaiknya peningkatan pasok batu bara oleh produsen batu bara global, terutama Indonesia dan Australia,” jelas Andry.
Keempat, penurunan permintaan batu bara global karena tren transisi energi.
Per 12 Juni 2023, harga batu bara Newcasle ditutup senilai US$134 per ton atau terpelanting 66,8% secara ytd.
“Kami melihat penurunan harga secara tajam tersebut utamanya disebabkan oleh beberapa faktor, seperti; ekspektasi pelemahan ekonomi global pascakrisis perbankan di Amerika Serikat [AS] dan kebijakan moneter the Federal Reserve yang kontraktif. Faktor lainnya adalah stagnasi ekonomi Cina pascapembukaan larangan mobilitas.”

Sekadar catatan, Badan Pusat Statistik (BPS) mendata, batu bara menjadi salah satu komoditas nonmigas yang mengalami penurunan pengapalan terdalam per Mei.
Secara nilai, ekspor batu bara pada bulan kelima mencapai US$3,82 miliar atau turun 4,39% month to month (mtm). Adapun, volume ekspor pada bulan tersebut mencapai 31,61 juta ton.
Bagaimanapuun, sepanjang Januari—Mei 2023, ekspor batu bara yang termasuk dalam bahan bakar mineral (HS27) mencapai US$20,61 miliar atau terkerek 8,52% dari capaian senilai US$18,99 miliar pada rentang yang sama tahun lalu.
Batu bara mendominasi 20,32% dalam sumbangsih terhadap ekspor nonmigas selama lima bulan pertama tahun ini yang mencapai US$101,47 miliar; sekaligus menjadikan komoditas pertambangan tersebut sebagai juara bertahan kontributor ekspor Indonesia.
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Moh. Edi Mahmud mengelaborasi penurunan kinerja ekspor tembaga tidak terlepas dari fenomena harga komoditas yang terus menurun di tingkat global.
“Untuk batu bara, nilai perdagangan sejak 2021 ada tren kenaikan, kecuali pada Januari 2022 yang turun, walaupun naik kembali. Dalam beberapa bulan terakhir ada penurunan dari 2022, karena harga batu bara di pasar global hanya menyentuh US$160 per ton. Secara volume, ekspor batu bara juga mengalami penurunan bulanan pada Mei,” ujar Edi, Kamis (15/6/2023).
(wdh)