Jauh lebih menggiurkan dibandingkan berinvestasi di reksa dana saham yang pada 2022 mencatat kinerja terburuk dengan melemah 2,29% berdasarkan Infovesta Equity Fund Index. Bahkan bila dibandingkan kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang pada 2022 masih membukukan return positif sebesar 4,08%, beternak dolar AS membuktikan diri lebih cuan.
Bunga Simpanan Valas Melesat
Pamor dolar AS yang tengah di atas angin di seluruh dunia gara-gara langkah pengetatan moneter Federal Reserve, berimplikasi langsung pada kenaikan tawaran bunga simpanan valas di perbankan nasional.
Mengacu pada Statistik Perbankan Indonesia terakhir, selama rentang 2021 hingga Maret 2023, pergerakan bunga simpanan valas untuk semua jenis mulai dari tabungan, giro hingga deposito di bank umum di Indonesia, merangkak naik dengan lonjakan kenaikan signifikan mulai semestar II-2022 atau dua bulan setelah The Fed memulai serial pengetatan moneter.
Sebagai gambaran, pada 2021 lalu, rata-rata bunga deposito valas di perbankan untuk tenor 1 bulan masih di kisaran 0,37%. Namun, menginjak Agustus 2022, bunga yang ditawarkan langsung melompat ke level 1,12% dan secara konsisten naik terus hingga ke posisi 2,88% pada Maret lalu. Itu menjadi tingkat bunga valas tertinggi sejak 2018.
Sejauh ini, tingkat bunga tertinggi deposito valas adalah untuk simpanan berjangka tenor 3 bulan yang mencapai 3,25% per Maret 2023. Lonjakan kenaikannya signifikan mengingat pada 2021 lalu rata-rata bank baru menawarkan rate untuk produk ini di level 0,50%.
Posisi saat ini sebesar 3,25% menjadi yang tertinggi dalam kurun waktu lebih dari satu dasawarsa terakhir. Hal yang wajar mengingat kenaikan Fed Fund Rate 15 bulan terakhir adalah yang teragresif selama lebih dari dua dekade terakhir.
Tawaran bunga simpanan valas yang terus melejit itu mempengaruhi pula kenaikan nilai dana pihak ketiga (DPK) valas perbankan.
Pada Maret 2023, nominal DPK valas di bank umum mencapai Rp727,45 triliun untuk giro valas, Rp195,61 triliun untuk tabungan valas, kemudian sebesar Rp353,25 triliun untuk deposito valas. Total DPK valas di perbankan umum pada Maret lalu mencapai Rp1.276,32 triliun atau setara dengan 15,94% dari total dana pihak ketiga di bank.
Posisi DPK valas itu mencatat kenaikan 2,5% bila dibandingkan akhir 2022. Total kenaikan nilai DPK valas di perbankan umum Tanah Air sejak akhir Desember 2020 mencapai 40,35%. Pada akhir 2020, posisi DPK valas di bank baru sebesar Rp909,38 triliun.
Selain faktor tawaran bunga simpanan valas di bank yang terus naik menyusul kenaikan bunga acuan Amerika, animo nasabah menyimpan valas di bank juga diperkuat oleh kenaikan bunga penjaminan LPS.
Saat ini, Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) mematok bunga penjaminan untuk simpanan valas di angka 2,25%. Dengan bunga jaminan yang semakin tinggi, minat nasabah menyimpan valas di bank tentu ikut terdongkrak.
Proyeksi Dolar AS
Otot dolar AS berpeluang semakin kuat sejurus dengan peluang kenaikan bunga Fed Fund Rate di sisa tahun ini. Otoritas moneter negeri ini, Bank Indonesia (BI), memprediksi nilai tukar rupiah bergerak di kisaran Rp14.800-Rp15.200 hingga akhir tahun ini. Sedangkan tahun depan, USD/IDR diperkirakan oleh bank sentral akan bergerak di rentang Rp14.600-Rp15.100/US$.
Proyeksi itu dilontarkan oleh Perry Warjiyo, Gubernur BI dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, pada 8 Juni lalu, sebelum sinyal hawkish muncul dari negeri Paman Sam. Otoritas moneter yang bermarkas di MH Thamrin itu memiliki keyakinan bahwa nilai tukar rupiah di sisa tahun ini dan tahun depan akan cenderung menguat didukung oleh aliran modal asing dari Penanaman Modal Asing (PMA) dan investasi portofolio.
Akan tetapi, dengan pernyataan Fed terbaru, keyakinan bank sentral itu mungkin bisa sedikit berubah. Bila mengacu pada batas atas rentang pergerakan rupiah terhadap dolar AS tahun ini di level Rp15.200/US$, maka masih tersisa peluang penguatan sekitar 1,7% dari posisi rupiah siang ini di Rp14.947/US$. Sedangkan bila melihat batas atas proyeksi pergerakan rupiah tahun depan di Rp15.100, ada ruang penguatan tersisa tinggal 1,03%.
(rui)