Bahaya yang ditakutkan adalah bahwa semangat bank sentral untuk mengendalikan inflasi akan menghancurkan ekonomi dan memaksa pembalikan kebijakan yang tergesa-gesa saat pertumbuhan harga konsumen runtuh.
Bank Sentral Eropa mengetahui ancaman tersebut dengan sangat baik, setelah dua kali membatalkan kenaikan suku bunga yang kini dianggap sebagai kebijakan yang salah. Pengingat akan adanya bahaya datang pada Kamis (15/06/2023) ketika Selandia Baru terjun ke jurang resesi.
"Bank-bank sentral secara kolektif tampaknya berpikir bahwa suku bunga yang lebih tinggi masih diperlukan, bahkan jika ekonomi mereka melemah atau sudah dalam resesi," kata Charles Hepworth direktur investasi di GAM Investments. "Kesalahan kebijakan bisa menjadi hasil yang tidak diinginkan.'
Keputusan untuk melakukan pengetatan membuat bank sentral global menghadapi tekanan harga yang membandel. Kanada dan Australia, yang kurva imbal hasil terbalik untuk pertama kalinya sejak krisis keuangan pada Kamis (15/06/2023), mengejutkan investor pekan lalu setelah melanjutkan pengetatan.
Keputusan Fed untuk menahan suku bunga diikuti dengan sinyal kenaikan sebanyak dua kali tahun ini. Salah satunya bisa diputuskan paling cepat bulan Juli, yang ditekankan oleh Powell bahwa rapat akan digelar secara "langsung".
Lagarde mengatakan pada Kamis (15/06/2023) bank sentral Eropa "sangat mungkin" mengikuti langkah tersebut pada hari berikutnya.
Mengingat komentar tersebut, trader di pasar uang melihat The Fed menaikkan upper bound dari tingkat tergetnya menjadi hampir 5,5%. Untuk bank sentral Eropa, mereka melihat peluang dari terminal rate sebesar 4% pada Oktober, tertinggi sepanjang masa.
"Kami yakin risiko terminal deposit rate sebesar 3,75% condong ke atas," kata Anna Stupnytska, ekonom makro global di Fidelity International.
Namun bersamaan dengan itu, terlihat adanya sinyal kegelisahan pada pasar. Kurva imbal hasil miring ke bawah, atau terbalik, adalah sebuah anomali. Ketika tingkat suku bunga jangka panjang lebih rendah daripada jatuh tempo yang lebih pendek, terkadang membuat para trader mengharap bank sentral harus menurunkan suku bunga di tahun-tahun mendatang, karena resesi akhirnya datang dan memungkinkan inflasi mereda.
Powell mengatakan bahwa pejabat Fed mengantisipasi ekspansi "lemah", dan menjinakkan harga akan membutuhkan "pertumbuhan di bawah tren dan beberapa pelunakan di kondisi pasar tenaga kerja."
Berdasarkan data pada Kamis (15/06/2023) ekonomi AS dinilai bisa bertahan, namun mulai kehilangan tenaga. Penjualan ritel bulan lalu melampaui hampir setiap perkiraan, namun laporan yang sama menunjukkan permintaan konsumen mulai berkurang. Di sisi lain, produksi pabrik tetap lamban dan pengajuan tunjangan pengangguran tetap tinggi sejak ahkhir 2021.
David Wilcox dari Bloomberg Economics, mantan pejabat senior Fed, mengatakan lonjakan tingkat pengangguran pada bulan lalu "menunjukkan perubahan besar mungkin sedang terjadi."
"Namun tetap saja, jelas bahwa berbagai macam hasil adalah masuk akal, dari tidak adanya peningkatan pengangguran hingga resesi tingkat sedang."
Zona euro, sementara itu, menunjukkan tanda-tanda kelesuan setelah resesi yang berlangsung hingga kuartal pertama. Lagarde menilai perekonomian berada di tingkat "stagnan" dan akan tetap lemah dalam jangka pendek.
Dia mengakui bahwa kenaikan sebelumnya merupakan transmisi "secara paksa" dalam kondisi pembelanjaan dan secara bertahap ke seluruh perekonomian. Namun, Lagarde memperingatkan bahwa tekanan upah juga semakin mendorong inflasi.
"Bahaya yang ada di titik ini adalah bahwa dengan berfokus pada indikator ekonomi yang bergerak lambat, bank sentral Eropa akan melakukan pengetatan kebijakan yang berlebihan," kata Joseph Little, Kepala Strategi Global di HSBC Asset Management. "Kami mungkin melihat kembali beberapa kenaikan terakhir dari siklus pengetatan ini sebagai 'kesalahan kebijakan'."
--Dengan asistensi dari Aline Oyamada, Alexander Weber dan Jana Randow.
(bbn)