Dalam pengumuman keputusan hasil Federal Open Meeting Committe (FOMC) tadi malam, Ketua Fed Jerome Powell juga memberi pernyataan gamblang bahwa kenaikan bunga Fed kemungkinan masih akan bisa terjadi dua kali lagi di sisa tahun.
Itu tidak terlepas dari penilaian The Fed bahwa inflasi di AS masih akan kuat, terutama inflasi inti. The Fed cenderung lebih optimistis terhadap daya tahan perekonomian negeri Paman Sam, dengan mengerek proyeksi pertumbuhan tahun ini dari 0,4% menjadi 1,1%. Dengan kata lain, The Fed memupus habis risiko resesi negeri itu, dalam penilaian terakhirnya.
Bank sentral AS juga memproyeksi tingkat pengangguran di negeri itu menjadi 4,1%, turun dari proyeksi semula 4,5%. The Fed menurunkan proyeksi inflasi 2023 dari 3,3% menjadi 3,2%, sementara proyeksi inflasi inti justru dinaikkan dari 3,6% menjadi 3,9% pada tahun ini.
Dengan saat ini inflasi IHK masih di posisi 4% dan inflasi inti 5,3%, bank sentral menilai upaya pengetatan bisa dilanjutkan. Alhasil, proyeksi bunga acuan puncak (terminal) pada 2023 juga ikut naik menjadi 5,625%-5,75%, dari semula 5,125-5,25%.
"Kami melihat pengetatan likuiditas global sebagai risiko makro terbesar saat ini, karena berlanjutnya quantitative tightening (QT) Fed dan pengisian ulang Treasury General Account (TGA) Amerika, bertepatan dengan penerbitan lebih banyak surat utang AS setelah kesepakatan plafon utang," jelas Satria Sambijantoro, Rami, dan Drewya, analis Bahana Sekuritas dalam catatannya, hari ini (15/6/2023).
Tingginya bunga Fed akan mempengaruhi daya tarik aset rupiah karena para pemilik dana global secara alamiah akan lebih memilih menempatkan dana di aset dolar AS sebagai safe haven.
-- dengan bantuan analisis teknikal dari M. Julian Fadli
(rui)