Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz,  Jakarta – Impor barang modal pada Mei 2023 terpantau melonjak signifikan, berbanding terbalik dengan laporan kinerja manufaktur di Indonesia yang tercatat kian melemah pada bulan yang sama. Barang modal, padahal, merupakan kelompok barang yang dibutuhkan untuk ekspansi industri di dalam negeri. 

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), kenaikan secara bulanan atau month to month (mtm) terhadap impor barang modal mencapai 66,03%, disusul kelompok barang konsumsi yang naik 47,96%, serta bahan baku/penolong 31%.

Adapun, nilai impor secara kumulatif pada Mei menembus US$21,28 miliar atau melonjak 38,65% dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Perinciannya, impor bahan baku/penolong senilai US$15,31 miliar; barang modal US$3,90 miliar; dan barang konsumsi US$2,07 miliar. 

Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Moh. Edi Mahmud mengatakan, dalam tiga tahun terakhir, siklus kenaikan impor memang hampir selalu terjadi setelah bulan periode libur Idulfitri – yang tahun ini jatuh pada April.

“Secara tahunan [year on year/yoy] nilai impor meningkat untuk seluruh jenis penggunaan. Impor barang modal mengalami kenaikan tertinggi,” ujarnya saat konferensi pers Neraca Perdagangan Mei 2023, Kamis (15/6/2023).

Dia memaparkan kenaikan impor nonmigas bulanan tertinggi terjadi pada komoditas mesin dan peralatan mekanik yang naik 46,42%. Kenaikan impor barang modal juga didorong oleh kendaraan dan bagiannya yang naik US$845,5 juta.

“Sementara itu, impor gula dan kembang gula [yang dibutuhkan oleh industri makanan dan minuman/mamin] turun sebesar US$792,2 juta, dan impor pupuk turun US$179 juta,” kata Edi.

Secara spesifik, dia memerinci impor gula pada Mei tercatat senilai US$193,28 juta atau turun 7,06% dari capaian bulan sebelumnya senilai US$207,9 juta.

Sebelumnya, S&P Global melporkan aktivitas manufaktur yang dicerminkan dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) di Indonesia mencapai level 50,3 pada Mei, turun dari bulan sebelumnya yang 52,7. PMI di atas 50 masih menunjukkan adanya ekspansi industri.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menjelaskan penurunan kinerja manufaktur pascaperiode puncak konsumsi atau Ramadan-Idulfitri sebenarnya merupakan hal yang wajar.

“Namun, seharusnya tidak seanjlok ini dan masih bisa distimulasi karena daya beli [domestik] masih cukup stabil meskipun stimulus pertumbuhan permintaan di pasar eksternal  [ekspor] terus melemah,” ujarnya saat dihubungi, Senin (5/6/2023).

Selain akibat turunnya permintaan dari pasar domestik dan internasional, Shinta menyebut lesunya kinerja manufaktur terjadi akibat kurangnya stimulus iklim usaha yang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas serta efisiensi beban produksi manufaktur.

Hal tersebut, klaim Shita, tecermin dari masih sulitnya industriawan dalam mengimpor bahan baku/penolong akibat suku bunga pinjaman riil yang tinggi serta minimnya reformasi struktural baru yang berfungsi untuk menciptakan tingkat efisiensi beban/biaya usaha yang lebih tinggi di sektor manufaktur.  

(wdh)

No more pages