Dia memaparkan kenaikan impor nonmigas bulanan tertinggi terjadi pada komoditas mesin dan peralatan mekanik yang naik 46,42%. Kenaikan impor barang modal juga didorong oleh kendaraan dan bagiannya yang naik US$845,5 juta.
“Sementara itu, impor gula dan kembang gula [yang dibutuhkan oleh industri makanan dan minuman/mamin] turun sebesar US$792,2 juta, dan impor pupuk turun US$179 juta,” kata Edi.
Secara spesifik, dia memerinci impor gula pada Mei tercatat senilai US$193,28 juta atau turun 7,06% dari capaian bulan sebelumnya senilai US$207,9 juta.
Sebelumnya, S&P Global melporkan aktivitas manufaktur yang dicerminkan dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) di Indonesia mencapai level 50,3 pada Mei, turun dari bulan sebelumnya yang 52,7. PMI di atas 50 masih menunjukkan adanya ekspansi industri.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menjelaskan penurunan kinerja manufaktur pascaperiode puncak konsumsi atau Ramadan-Idulfitri sebenarnya merupakan hal yang wajar.
“Namun, seharusnya tidak seanjlok ini dan masih bisa distimulasi karena daya beli [domestik] masih cukup stabil meskipun stimulus pertumbuhan permintaan di pasar eksternal [ekspor] terus melemah,” ujarnya saat dihubungi, Senin (5/6/2023).
Selain akibat turunnya permintaan dari pasar domestik dan internasional, Shinta menyebut lesunya kinerja manufaktur terjadi akibat kurangnya stimulus iklim usaha yang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas serta efisiensi beban produksi manufaktur.
Hal tersebut, klaim Shita, tecermin dari masih sulitnya industriawan dalam mengimpor bahan baku/penolong akibat suku bunga pinjaman riil yang tinggi serta minimnya reformasi struktural baru yang berfungsi untuk menciptakan tingkat efisiensi beban/biaya usaha yang lebih tinggi di sektor manufaktur.
(wdh)