Baca juga: Margin & Laba Bank BUMN Bisa Turun Imbas Utang WIKA & WSKT
Sebagai gambaran, untuk dua BUMN karya paling 'sakit', tercatat ada tiga bank BUMN yang memiliki eksposur pinjaman besar. Total kredit BBRI kepada WIKA dan WSKT jika ditotal mencapai Rp99 triliun. Sedang BBNI dan BMRI masing-masing sebesar Rp12,6 triliun dan Rp17,8 triliun.
Kredit ini termasuk non-cash loan, namun tidak termasuk pinjaman dengan jaminan pemerintah. Bank Mandiri sejauh ini juga tercatat sebagai kreditur terbesar WIKA dengan nominal pinjaman mencapai Rp3,9 triliun.
Hari ini, 15 Juni, tercatat sebagai hari terakhir periode standstill sebagaimana termuat dalam perjanjian induk atau master restructuring agreement (MRA) Waskita. Dengan kata lain, mulai besok Waskita sudah harus memulai lagi pembayaran bunga dan pokok kewajiban perseroan terhadap seluruh kreditur.
Perseroan juga menunggu kepastian suntikan modal segar dari kas negara melalui PMN tahun anggaran 2022, paling lambat sebelum 30 Juni 2023.
Utang Luar Negeri BUMN Terus Naik
Mengacu pada publikasi terbaru oleh Bank Indonesia hari ini (15/6/2023), posisi Utang Luar Negeri (ULN) BUMN pada April 2023 mencapai US$ 53,23 miliar. Sedikit turun dari posisi bulan sebelumnya sebesar US$ 53,4 miliar.
Dengan asumsi kurs Rp14.936/US$, nilai utang itu setara dengan Rp797,61 triliun. Hampir Rp 800 triliun.
Namun, bila meneliti lebih terperinci, posisi ULN lembaga keuangan bukan bank BUMN pada April lalu melesat ke posisi tertinggi sejak Mei 2022, yaitu sebesar US$ 2,38 miliar. Sedangkan posisi ULN bank BUMN mencapai level tertinggi sejak November 2022 menjadi US$ 8,34 miliar.
Sedang utang luar negeri yang ditanggung oleh korporasi BUMN di luar sektor keuangan, tercatat turun tipis menjadi US$ 42,59 miliar dari posisi US$ 43,08 miliar di Maret.
Tren kenaikan posisi ULN tertinggi terutama diperlihatkan oleh lembaga keuangan BUMN non perbankan, hampir 200% bila dibandingkan posisi 2013. Sedangkan ULN perbankan pelat merah kenaikannya mencapai 171,7% selama 10 tahun terakhir.
Untuk ULN BUMN di luar sektor keuangan dan perbankan, mencatat kenaikan 112% selama rentang yang sama.
Apabila menilik tanggal jatuh tempo, total nilai utang luar negeri kelompok swasta, termasuk BUMN, yang akan jatuh tempo kurang dari setahun mencapai US$ 150,69 miliar per April 2023, sedikit turun dari posisi Maret sebesar US$ 151,02 miliar.
Total posisi ULN swasta pada April lalu mencapai US$ 199,60 miliar terdiri atas bank dengan posisi ULN US$ 33,44 miliar, lembaga keuangan nonbank US$ 6,77 miliar dan bukan lembaga keuangan sebesar US$ 159,38 miliar. Total posisi ULN Indonesia pada April lalu mencapai US$ 403,08 miliar.
Dampak Sektoral
Kemelut utang BUMN karya yang masih belum berujung bukan cuma menghantui perolehan laba dan margin perbankan pelat merah yang menjadi kreditur utama. Obligasi terbitan korporasi Indonesia, terutama untuk global bond, juga ikut terpuruk imbas dari isu utang tersebut.
Di kawasan Asia Tenggara, obligasi dolar AS terbitan korporasi berating rendah mencatat kinerja terburuk. Catatan Bloomberg, sepanjang tahun ini rata-rata tingkat imbal hasil untuk obligasi dolar AS dengan yield tinggi itu naik hingga 20 bps tahun ini ke kisaran 12,9%, sementara di kawasan Asia Tenggara untuk jenis obligasi serupa mencatat penurunan 3,8 bps.
Menurut penilaian lembaga pemeringkat Fitch Ratings, risiko gagal bayar obligasi terbitan korporasi RI akan bergantung pada hasil negosiasi Waskita dengan para kreditur.
"Kami meyakini kegagalan Waskita membayar obligasi akan lebih mempengaruhi sentimen di sektor konstruksi ketimbang ke sektor korporasi secara umum." kata analis Fitch Rating Felita dan Olly Prayudi.
Obligasi bank kreditur BUMN karya memang sempat tertekan beberapa waktu lalu imbas dari isu utang tersebut. Namun, menurut analis, dampak kemelut utang BUMN karya akan lebih besar membebani sentimen di sektor konstruksi meski itu juga mengancam besar margin dan laba bank-bank BUMN yang harus menempatkan provisi lebih besar sebagai antisipasi risiko gagal bayar.
Membebani Kas Negara
BUMN karya yang tengah bermasalah saat ini masih menunggu sinyal persetujuan PMN dari DPR-RI setelah pengajuan secara resmi oleh Kementerian BUMN pekan lalu.
Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo memberikan gambaran kelanjutan realisasi PMN kepada Waskita yakni dengan mempertimbangkan juga kasus korupsi yang melibatkan petinggi BUMN Karya tersebut.
"Kemarin, kami di kabinet sudah sepakat untuk suntikan (PMN) melalui Hutama Karya untuk meneruskan Proyek Strategis Nasional (PSN) sembari melakukan penyehatan terhadap Waskita Karya," ujarnya.
Kementerian BUMN mengajukan PMN tambahan untuk Hutama Karya dan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA). Nilainya masing-masing sebesar Rp12,5 triliun dan Rp8 triliun.
Selain keduanya, Menteri BUMN Erick Thohir mengajukan PMN untuk delapan BUMN lainnya, tanpa ada WSKT. Total PMN yang diajukan tersebut mencapai Rp57,9 triliun.
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai usulan suntikan PMN untuk investasi dan operasional terhadap BUMN-BUMN tersebut, terlebih yang sudah jelas bermasalah dan mencatat kasus fraud dan korupsi, sebaiknya ditimbang ulang. Pasalnya, bila tidak cermat dan diperketat, itu hanya akan menjadi beban bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Kepala Center Food, Energy and Sustainable Development INDEF Abra P.G Talattov mengatakan bahwa masyarakat harus mengkritisi dan tidak bisa menerima begitu saja usulan-usulan yang diajukan oleh Kementerian BUMN dan perlu melihat urgensi. Kondisi perekonomian RI sempat terkontraksi karena pandemi dan ikut menekan BUMN, di mana ketika itu APBN sudah banyak memberi dukungan agar perusahaan pelat merah bisa bertahan.
Kini dengan perekonomian sudah mulai cukup pulih, ia menilai tidak cukup alasan bagi pemerintah terus menyuntik BUMN secara berlebihan. Terlebih bila itu digunakan untuk menyuntik BUMN yang sejatinya gembos karena perilaku manajemen yang corrupt.
"Terjadinya korupsi yang cukup masif di jajaran BUMN karya, bahkan dilakukan oleh petingginya sendiri, ini menjadi anomali, sangat melukai hati rakyat,” tukas Abra.
Perekonomian domestik meski sudah mulai pulih tapi masih menghadapi ancaman perlambatan yang semakin kentara saat ini sehingga APBN dibutuhkan sebagai benteng terakhir demi mendukung pertumbuhan ekonomi.
"Terjadinya korupsi yang cukup masif di jajaran BUMN karya, bahkan dilakukan oleh petingginya sendiri, ini menjadi anomali, menjadi sangat melukai hati rakyat,” tegas Abra.
-- dengan bantuan laporan dari Dityasa H. Forddanta dan Krizia P. Kinanti.
(rui)