Saldi Isra menuturkan, menurut Mahkamah, perbaikan dan penyempurnaan dalam penyelenggaraan pemilu dapat dilakukan dalam berbagai aspek, mulai dari kepartaian, budaya politik, kesadaran dan perilaku pemilih, hingga hak pula kebebasan berekspresi.
"Dalam posisi demikian, sistem apa pun yang diterapkan tidak dapat mengubah apapun dalam proses berdemokrasi," kata Saldi.
Putusan ini juga diwarnai pendapat berbeda atau dissenting opinion dari salah satu hakim yaitu hakim Arief Hidayat.
Gugatan
Sebelumnya perhatian publik tersedot pada uji materi atau judicial review terhadap beberapa pasal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di MK (UU Pemilu). Disebutkan soal adanya kemungkinan kembali ke sistem proporsional tertutup.
Beberapa pasal yang digugat tersebut adalah; Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), dan Pasal 426 ayat (3).
Mengadili, menolak permohonannya provisi para pemohon. Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya
Ketua MK Anwar Usman
Berdasarkan catatan, pemohon judicial review terdiri dari 6 orang yakni Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP cabang Banyuwangi); Yuwono Pintadi; Fahrurrozi (bacaleg 2024); Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jakarta Selatan); Riyanto (warga Pekalongan) dan Nono Marijono (warga Depok).
Enam orang itu memilih pendamping pengacara dari salah satu kantor hukum yang bernama Din Law Group. Berdasarkan penelusur, kantor tersebut beralamat di Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Para pemohon berpendapat UU Pemilu telah mengerdilkan organisasi partai politik dan pengurus partai politik. Hal tersebut dinilai lantaran dalam hal penentuan caleg terpilih oleh KPU, tidak berdasarkan nomor urut sebagaimana daftar caleg yang dipersiapkan oleh partai politik, namun berdasarkan suara terbanyak secara perseorangan.
Mereka juga menilai model penentuan caleg terpilih berdasarkan pasal a quo telah nyata menyebabkan para caleg merasa parpol hanya kendaraan dalam menjadi anggota parlemen. Seolah-olah peserta pemilu adalah perseorangan bukan partai politik.
Adapun sidang perdana perkara tersebut digelar pada Rabu (23/11/2022) dan sidang terakhir digelar pada Selasa (23/5/2023) dengan agenda mendengarkan keterangan Pihak Terkait. Setidaknya, MK telah menggelar 16 kali persidangan sejak pemeriksaan pendahuluan hingga pemeriksaan persidangan Mei lalu.
Para hakim MK juga telah mendengar keterangan dari berbagai pihak mulai dari DPR, presiden, serta sejumlah pihak seperti KPU, Partai Garuda, DPP PKS, DPP PSI, DPP PBB, dan Perludem. MK juga mendengarkan keterangan sejumlah ahli.
Sidang gugatan sistem pemilu dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022 digelar bersama dengan pembacaan putusan untuk empat perkara di gedung MK, Jakarta Pusat pada hari ini.
Berdasarkan pantauan delapan hakim yang hadir Anwar Usman, Saldi Isra, Arief Hidayat, Suhartoyo, Manahan M.P. Sitompul, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, dan Guntur Hamzah. Sementara satu hakim lain yakni hakim konstitusi Wahiduddin Adams tidak terlihat di dalam ruang sidang. Dia disebutkan sedang melakukan perjalanan tugas ke Uzbekistan.
(ezr)