"Bagi Mahkamah Konstitusi, pemberitaan, opini, pernyataan, unggahan, dan atau cuitan tersebut berpotensi dan bahkan telah menimbulkan pandangan negatif yang berdampak langsung pada kredibilitas dan tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap proses persidangan dan putusan Mahkamah Konstitusi," kata MK
Uji materi UU Pemilu sendiri tercatat diajukan Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto dan Nano Marijono. Mereka menguji Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu terkait ketentuan sistem proporsional terbuka pada pemilu.
Para Pemohon berpendapat UU Pemilu telah mengkerdilkan atau membonsai organisasi partai politik dan pengurus partai politik. Hal tersebut karena dalam hal penentuan caleg terpilih oleh KPU tidak berdasarkan nomor urut sebagaimana daftar caleg yang dipersiapkan oleh partai politik, namun berdasarkan suara terbanyak secara perseorangan.
Para pemohon menilai model penentuan caleg terpilih berdasarkan pasal a quo telah nyata menyebabkan para caleg merasa Parpol hanya kendaraan dalam menjadi anggota parlemen. Seolah-olah peserta pemilu adalah perseorangan bukan partai politik.
Sidang perdana perkara tersebut digelar pada Rabu (23/11/2022) dan sidang terakhir digelar pada Selasa (23/5/2023) dengan agenda mendengarkan keterangan Pihak Terkait. Setidaknya, MK telah menggelar 16 kali persidangan sejak pemeriksaan pendahuluan hingga pemeriksaan persidangan.
Hakim MK juga telah mendengar keterangan dari berbagai pihak mulai dari DPR, Presiden, serta sejumlah Pihak Terkait yang terdiri dari KPU, DPP Partai Garuda, DPP PKS, DPP PSI, DPP PBB, dan Perludem. MK juga mendengarkan keterangan sejumlah ahli.
(frg)