Namun kontraksi impor akan lebih panjang ketimbang ekspor. Jika impor Mei 2023 kembali tumbuh negatif, maka akan menjadi kontraksi dalam 4 bulan beruntun.
Sementara median proyeksi untuk neraca perdagangan Mei 2023 ada di US$ 3,07 miliar. Turun dibandingkan realisasi sebulan sebelumnya yang US$ 3,94 miliar.
Meski turun, tetapi surplus neraca perdagangan akan menjadi 37 bulan beruntun, jika Mei 2023 positif lagi.
Harga Komoditas Jatuh
Penurunan kinerja ekspor Indonesia tidak lepas dari koreksi harga komoditas. Tahun lalu, harga komoditas andalan ekspor Indonesia seperti batu bara dan minyak sawit mentah (CPO) meroket.
Namun tahun ini, harga 2 komoditas itu jatuh. Secara year-to-date, harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) anjlok 66,37%. Kemudian harga CPO di Bursa Malaysia turun 17,16%.
Dua komoditas ini masih menyumbang sebagian besar dari ekspor Indonesia. Dalam 4 bulan pertama 2023, ekspor bahan bakar mineral (yang didominasi batu bara) tercatat US$ 16,79 miliar. Jumlah tersebut mewakili 20,71% dari total ekspor non-migas, lebih dari seperlima.
Lalu nilai ekspor lemak dan minyak hewan/nabati (yang didominasi CPO) pada Januari-April 2023 adalah US$ 8,79 miliar. Angka ini setara dengan 10,84% dari total ekspor non-migas.
Sedangkan di sisi impor, Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman menyebut penurunan harga komoditas juga memberi peran. Saat harga komoditas jatuh, maka harga bahan baku industri juga turun sehingga membuat nilai impor berkurang.
“Di dalam negeri, tahun politik membuat dunia usaha wait and see dalam berinvestasi dan produksi,” sebut Faisal.
Ke depan, Faisal memperkirakan kinerja ekspor akan semakin melambat karena kejatuhan harga komoditas akibat pelemahan permintaan global. Oleh karena itu, surplus neraca perdagangan kemungkinan akan kian menyusut.
“Namun surplus perdagangan masih akan terjaga karena penurunan harga komoditas,” sebutnya.
Pertumbuhan Ekonomi Terancam
Lebih jauh, penurunan ekspor dan impor bisa mengancam prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebab, ekspor adalah salah satu mesin utama penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi pengeluaran.
Pada 2022, ekspor menyumbang 24,49% dari PDB. Hanya kalah dari konsumsi rumah tangga (51,87%) dan investasi (29,08%).
Penurunan impor juga berisiko menahan ekspansi ekonomi. Sebab, mayoritas produk yang diimpor Indnesia adalah bahan baku/penolong dan barang modal yang digunakan untuk keperluan industri dalam negeri.
Penurunan impor adalah sinyal bahwa industri dalam negeri sedang melambat. S&P Global melaporkan, aktivitas manufaktur yang dicerminkan dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) di Indonesia ada di 50,3 pada Mei. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang 52,7 sekaligus menjadi yang terendah sejak November tahun lalu.
“Industri manufaktur Indonesia mencatatkan pertumbuhan yang melambat pada pertengahan kuartal II-2023. Permintaan melambat karena permintaan domestik maupun internasional yang lebih lemah. Menjadi penting untuk terus memantau seberapa persisten penurunan ini.
“Mengkhawatirkan saat melihat kepercayaan dunia usaha melemah. Ini mencerminkan kecemasan terhadap outlook tahun depan,” sebut Jingyi Pan, Economics Associate Director di S&P Global, sebagaimana dikutip dari keterangan resmi.
Masalahnya, industri manufaktur adalah penyumbang utama PDB dari sisi lapangan usaha. Tahun lalu, industri manufaktur berkontribusi 18,34% dalam pembentukan PDB.
Oleh karena itu, sepertinya sulit bagi Indonesia untuk mencatatkan pertumbuhan ekonomi setinggi tahun lalu. Bank Dunia memperkirakan ekonomi Indonesia pada 2023 tumbuh 4,8%.
Sedangkan proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) ada di 5% dan perkiraan Bank Pembangunan Asia (ADB) adalah 4,8%.
(aji/roy)