Logo Bloomberg Technoz

Jika The Fed benar-benar menahan suku bunga acuan, maka ini menjadi yang pertama sejak tidak ada kenaikan sejak Maret 2022. Sejak tahun lalu, The Fed sudah mendongkrak suku bunga acuan sebanyak 425 basis poin.

Suku bunga acuan yang kala pandemi Covid-19 mendekati 0% kini sudah di kisaran 5%.

Sumber: FOMC

Kenaikan suku bunga acuan menyebabkan arus modal mengalir ke Negeri Adikuasa. Maklum, suku bunga tinggi akan ikut mendongkrak imbal hasil (yield) aset-aset berbasis dolar AS.

Hasilnya, dolar AS begitu perkasa, setidaknya tahun lalu. Sepanjang 2022, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan 6 mata uang utama dunia) menguat 8,91%.

Dollar Index (Sumber: Bloomberg)

Inflasi AS Mereda

Kenaikan suku bunga acuan ditempuh untuk menjinakkan laju inflasi. Namun kini, inflasi AS sudah mereda.

Tadi malam waktu Indonesia, US Bureau of Labor Economics mengumumkan inflasi AS pada Mei sebesar 4% year-on-year (yoy). Di bawah konsensus pasar yang dihimpun Bloomberg dengan perkiraan 4% sekaligus jadi yang terendah sejak Maret 2021.

Sumber: US Bureau of Labor Statistics, Bloomberg

Sementara inflasi inti tercatat 5,3% yoy pada Mei. Ini menjadi rekor terendah sejak November 2021.

“Kami memperkirakan Mei adalah akhir dari siklus kenaikan suku bunga, karena tekanan inflasi sudah mereda. Pasar tenaga kerja juga sudah mulai longgar dan penyaluran kredit melambat. Ini semua akan mendorong FOMC untuk menghentikan kenaikan suku bunga,” papar riset Nomura Securities, sebagaimana diwartakan Bloomberg News.

Dampak Buat Indonesia

Bagi Indonesia, kebijakan moneter AS tentu akan membawa dampak. Seperti sudah disinggung sebelumnya, kenaikan suku bunga yang agresif sejak tahun lalu membuat dolar AS perkasa dan menekan mata uang lain, termasuk rupiah.

Sepanjang 2022, rupiah melemah 9,26%. Namun saat angin pelonggaran moneter AS berhembus pada tahun ini, rupiah mampu berbalik menguat. Secara year-to-date, rupiah terapresiasi 4,37%.

USD/IDR (Sumber: Bloomberg)

Seiring tekanan terhadap rupiah yang mereda, dan AS kemungkinan sudah tidak lagi menaikkan suku bunga acuan, maka ada ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuan. Sebagai informasi, BI sudah menahan suku bunga acuan selama 4 bulan beruntun, tetapi belum ada penurunan.

Sumber: BI

Tekanan terhadap rupiah sudah mereda, inflasi domestik juga terkendali. Bahkan inflasi sudah kembali ke kisaran target BI 2-4%, baik inflasi umum maupun inflasi inti.

BPS mengumumkan terjadi inflasi 0,09% pada Mei 2023 dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Lebih rendah dibandingkan April 2023 yang sebesar 0,33% mtm sekaligus jadi yang terendah sejak Oktober 2022.

Sementara dibandingkan Mei 2022, inflasi tercatat 4% yoy. Juga melambat dibandingkan laju bulan sebelumnya yang 4,33% yoy sekaligus jadi yang terendah sejak Mei 2022.

Lalu inflasi inti pada Mei 2023 adalah 0,06% mtm. Lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang 0,25% dan menjadi yang terendah sejak Juli 2022.

Secara tahunan, inflasi inti pada Mei 2023 berada di 2,66%. Lebih rendah dibandingkan April 2023 yang 2,83% dan menjadi yang terendah sejak Maret 2022.

Sumber: BPS

“Inflasi sepertinya akan menuju tren menurun. Sebelum pandemi Covid-19, inflasi berkisar antara 2,7-2,8%, dan mungkin akan menuju ke sana lebih cepat dari perkiraan,” kata Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas.

BI 7 Day Reverse Repo Rate Bisa Turun?

Posisi rupiah dan inflasi yang bisa dibilang aman membuat BI punya ruang untuk bermanuver. Kini BI bisa fokus untuk membantu mendorong pertumbuhan ekonomi, salah satunya dengan menurunkan suku bunga acuan.

Akan tetapi, sejumlah ekonom belum yakin BI akan menurunkan suku bunga acuan tahun ini. Satria bahkan memperkirakan BI masih bisa menaikkan suku bunga acuan 25 bps lagi menjadi 6%.

“Kami tidak yakin BI akan menurunkan suku bunga acuan tahun ini, karena stance The Fed masih cenderung hawkish dan harga energi masih tinggi. Apalagi dalam bulan-bulan ke depan Indonesia akan menghadapi situasi yang rumit di mana belanja terkait Pemilu akan meningkat sehingga ikut mendongkrak uang beredar, aktivitas ekonomi, dan inflasi,” jelasnya.

Sedangkan Faisal Rachman, Ekonom Bank Mandiri, memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate akan bertahan di 5,75% sampai akhir tahun ini. Belum ada peluang untuk turun.

“Tantangan utama masih dari faktor eksternal, yakni ketidakpastian arah kebijakan moneter global, inflasi yang persisten, dan kemungkinan resesi di negara-negara maju. Di dalam negeri, ketidakpastian juga masih ada terutama dari sisi inflasi karena ancaman El Nino.

“Dengan pertimbangan 2 hal tersebut, kami memandang peluang penurunan BI 7 Day Reverse Repo Rate relatif kecil. Ruang itu mungkin baru terbuka pada kuartal I-2024,” terang Faisal.

(aji)

No more pages