“Pesan saya, bagi yang mau masuk pahami dulu term and condition-nya. Saya kira mungkin penting, daripada highlight sesuatu yang tidak 100% baik,” ucap dia.
“Berdasarkan info, beberapa gagal bayar itu sebelumnya punya track record baik, karena ada Covid-19, kemudian terimbas krisis, sehingga gagal bayar,” tegas Triyono.
Ia juga menambahkan, sebagai peminjam masyarakat juga memiliki risiko. Dan, untuk meminimalisir risiko tersebut, fintech p2p lending harus menampilkan credit scoring dalam aplikasi mereka.
“Tapi tidak boleh 100 persen mengandalkan itu. Kalau kita tahu ada service yang baik di luar yang lebih akurat melakukan credit scoring, kenapa tidak,” papar dia.
Sebelumnya Ketua Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Adrian Gunadi, sekaligus CEO dan Co-Founder Investree, menjelaskan, protes investor karena dananya belum juga cair tidak tepat dituduhkan kepada perusahaan fintech p2p lending. Pasalnya terdapat kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian perdata antara pihak yang bersedia meminjamkan atau lender dengan peminjam dana atau borrower.
Ia menjelaskan, kesepakatan perdata ini melahirkan keuntungan bagi lender dan borrower, sekaligus memiliki risiko. Yaitu, keterlambatan pencairan dana atau bahkan dalam kasus tertentu mengalami gagal bayar.
“Informasi yang kami sampaikan di disclosure disitu rasanya cukup clear, kita bilang layanan pinjam meminjam berbasis teknologi merupakan kesepakatan perdata yang dibuat antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman, sehingga segala risiko yang ditanggung oleh masing-masing. Itu esensinya,” papar dia.
Terkait profil peminjam yang sering mengalami gagal bayar, Adrian menerangkan hal ini biasa terjadi pada mereka dengan rating B sampai dengan C-. Mereka juga biasanya menawarkan imbal hasil lebih tinggi.
Industri yang lazim terkendala gagal bayar dan merugikan investor Investree berasal dari bidang tekstil, garmen. Kemudian terdapat pula bidang minyak dan gas, transportasi dan logistik, sektor konstruksi dan penyediaan komputer.
(yun/wep)