Logo Bloomberg Technoz

Euforia pasar melambung dengan reopening China dan berharap keputusan itu bisa berdampak pada kebangkitan perekonomian global yang dihantui perlambatan, imbas dari inflasi tinggi yang memicu kenaikan bunga global dan masih adanya disrupsi rantai pasokan dunia. 

Perekonomian China melemah (Bloomberg)

Namun, lima bulan pertama tahun ini, dunia menyaksikan harapan itu ternyata dipaksa pupus lebih awal. Pemulihan China sampai Mei lalu menunjukkan sinyal lemah di mana kinerja ekspor dan impor Tiongkok sama-sama terpukul. Ekspor Mei jatuh 7,5%, penurunan yang jauh lebih dalam ketimbang perkiraan ekonom, di mana pengiriman barang ke Amerika, Jepang, Asia Tenggara, Italia dan Prancis menurun hingga dua digit.

Impor juga anjlok 4,5% di mana penurunan terbesar lebih dari 20%, terjadi untuk impor dari Taiwan dan Korea Selatan. Aktivitas manufaktur China juga turun dibarengi dengan pelemahan penjualan rumah. 

Pelemahan kinerja ekonomi China tersebut masih tertahan belanja konsumen di sektor pariwisata dan restoran, juga sumbangan penjualan mobil ke seluruh dunia yang mencatat US$ 9 miliar untuk Mei saja, terutama didukung oleh mobil listrik. 

Secara umum, perekonomian negeri yang dihuni oleh 1,412 miliar jiwa itu lesu dan membutuhkan stimulasi tambahan, dimulai dari pelonggaran moneter melalui pemangkasan bunga acuan. 

Sebelum memutuskan penurunan bunga acuan hari ini, bank sentral China juga telah meminta bank-bank besar di negara itu menurunkan bunga deposito untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Bunga yang rendah akan mendorong deposan menarik dana dan memutarnya untuk aktivitas ekonomi, baik itu konsumsi ataupun produksi.

Di sisi lain, bunga deposito yang rendah bisa mempengaruhi penurunan bunga kredit sehingga pinjaman bisa lebih murah dan membantu ekspansi korporasi.

Sebagai negara dengan ukuran ekonomi besar, pelemahan perekonomian jelas berpengaruh pada dunia secara kesluruhan, termasuk bagi Asia dan Indonesia.

Ekonomi China yang kurang darah nyatanya sudah berdampak signifikan kelesuan aktivitas pabrik-pabrik manufaktur di seluruh Asia. Aktivitas manufaktur di Taiwan, Vietnam juga Korea Selatan semua terjatuh ke zona kontraksi menngindikasikan lesunya permintaan yang menurunkan ekspansi pabrik-pabrik di Asia.

Kinerja ekspor impor China melemah (Bloomberg)

Indonesia juga mencatat tren serupa di mana indeks manufaktur pada Mei lalu turun ke level 50,3 dari 52,7 di bulan sebelumnya. Masih di zona ekspansi akan tetapi mencerminkan penurunan akibat anjloknya volume pekerjaan untuk pertama kalinya sejak Agustus 2021. Penyebabnya, selain karena permintaan domestik yang lemah, permintaan dari dunia juga ikut terpuruk. 

Dengan langkah pemangkasan bunga, perekonomian China diharapkan bisa perlahan bangkit dan mencatatkan kinerja bagus. Bank Dunia dalam proyeksi terbaru yang dirilis pekan lalu memperkirakan, China akan mampu mencetak pertumbuhan tahun ini sebesar 5,6%, naik dari proyeksi semula sebesar 4,3%.

China yang kembali bangkit akan menjadi kabar baik bagi perekonomian di seluruh dunia.

Kasus Indonesia

Lain China, lain pula Indonesia. Sejauh ini perekonomian domestik juga semakin banyak melontar sinyal perlambatan. Yang paling kentara adalah pelemahan pertumbuhan kredit pada April lalu yang mencatat angka terendah sejak Maret 2022. 

Selain itu, anjloknya inflasi inti pada Mei menjadi 2,66% dari 2,84% pada bulan sebelumnya memberi sinyal daya beli masyarakat kemungkinan sudah mulai melemah.

Proyeksi inflasi Indonesia (Bloomberg)

Inflasi inti bisa menjadi salah satu ukuran untuk melihat perkembangan daya beli. Sebab, inflasi inti berisi barang dan jasa yang harganya persisten, tidak mudah naik ataupun turun.

Dalam laporan Indeks Keyakinan Konsumen yang dirilis kemarin, BI mencatat bahwa porsi penghasilan konsumen yang digunakan untuk berbelanja (average propensity to consume) adalah 75,4%. Hanya naik sedikit dibandingkan bulan sebelumnya yang 75,2%, atau bisa dibilang stagnan.

Akan tetapi, porsi penghasilan yang ditabung (saving to income ratio) merosot cukup dalam. Pada Mei 2023, rasionya adalah 15,7% sedangkan bulan sebelumnya 16,4%.

Selama kuartal 1-2023, tren simpanan masyarakat di bank terus menurun (Divisi Riset Bloomberg Technoz)

Ada kekhawatiran masyarakat mulai menarik tabungannya untuk mengimbangi kenaikan harga terutama untuk kebutuhan pangan dan sembako. Hal itu mengemuka bila menilik tren posisi simpanan masyarakat di bank berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terakhir di mana nilai simpanan masyarakat tercatat turun 1,9% atau sekitar Rp158 triliun selama tiga bulan tahun 2023.

Konsumsi masyarakat juga belum mampu bangkit terindikasi kinerja penjualan ritel pada April lalu ketika puncak perayaan Lebaran datang, hanya mampu tumbuh 1%. Berdasarkan laporan BI hari ini, Selasa (13/6/2023), Indeks Penjualan Ritel pada April hanya naik 1,5% secara tahunan dengan prakiraan pada Mei tumbuh hanya 0,02%.

BI juga memperkirakan penjualan eceran pada Mei akan terkontraksi alias turun hingga 3,6% secara bulanan, menyusul siklus setelah berakhirnya periode Ramadan dan Lebaran. 

Kapan BI Pangkas Bunga?

Sinyal perlambatan yang semakin banyak ditunjukkan perekonomian domestik, memantik suara perlunya Bank Indonesia, otoritas moneter, untuk mulai menurunkan bunga acuan setelah menahan BI7DRR selama sejak Januari lalu.

Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas, memperkirakan BI akan mulai memangkas bunga Juli atau Agustus nanti, menyusul inflasi IHK pada Mei yang sudah di sasaran target bank sentral dan inflasi inti turun signifikan.

Bank Indonesia memperkirakan inflasi akhir tahun akan ada di level 3,3%. Menurut analis, dengan pertumbuhan kredit yang jauh di bawah target sejauh ini ditambah aktivitas manufaktur yang lemah, target inflasi itu sulit tercapai kecuali BI mulai memberikan stimulus berupa pemangkasan bunga acuan 50 bps pada semester II-2023.

Satria Sambijantoro, ekonom Bahana Sekuritas, menambahkan, BI memiliki alasan untuk memangkas bunga bila melihat situasi perkembangan perekonomian domestik. Akan tetapi, bila melihat faktor global itu menjadi lebih sulit karena ketidakpastiannya masih sangat tinggi.

"Mungkin menunggu China lebih dulu untuk pangkas bunga, baru BI berani ketika Federal Reserve dan European Central Bank juga diprediksi masih akan lanjut menaikkan bunga," katanya.

(rui)

No more pages