Trenggono menjelaskan faktor cuaca juga menjadi kendala di sentra-sentra produksi eksisting seperti Madura, di mana cuaca panas bisa bertahan antara 5—6 bulan dalam setahun. “Selebihnya pendek-pendek panasnya sehingga produksinya tidak efektif.”
Kendala-kendala produksi tersebut dinilai Trenggono membuat Indonesia sulit mengerek produksi garam, sehingga pasar domestik selalu dibanjiri oleh garam impor.
“Kalau [garam lokal] dibandingkan dengan impor, tidak akan pernah menang kita. Karena memang [garam] impor itu [diproduksi melalui skema] tambang. Mereka tinggal ambil, angkut, terus pindah ke sini,” jelasnya.
Dia pun mengusulkan agar penyusunan neraca garam, termasuk keputusan untuk alokasi impor garam, diserahkan kepada PT Garam (Persero) yang notabene juga memproduksi garam di dalam negeri.
“Tetapi kalau kemudian industri [swasta] juga diizinkan [impor], saya sih kurang begitu yakin kalau tidak bocor ke pasar umum,” tutur Trenggono.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi garam Indonesia pada 2019 mencapai 2,9 juta ton, sebelum terus turun menjadi 1,4 juta ton pada 2020; 1,09 juta ton pada 2021; dan 895.000 ton pada tahun lalu.
Sebaliknya impor terus meningkat dari hanya 2,6 juta ton pada 2019 dan 2020, menjadi 2,8 juta ton pada 2021, dan 3 juta ton pada tahun lalu.
(wdh)