Akan tetapi, lanjut Roy, dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR RI pada 7 Juni, pengusaha mengetahui bahwa Mendag Zulkifli Hasan justru mengatakan hasil LO Kejagung tersebut tidak cukup substantif sehingga Kemendag perlu melakukan klarifikasi dan pengecekan ulang kepada BPKP dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Aprindo sangat menyayangkan pernyataan mendag ini, padahal sebelumnya dia sudah mengatakan bahwa jika LO keluar dengan perintah bayar, maka [utang rafaksi] akan segera dibayarkan,” ujarnya.
Roy berpendapat, jika memang tidak ada ketidakcocokan data, seharusnya pemerintah melakukan klarifikasi dari awal.
“Jargon ‘kalau bisa dipersulit, untuk apa dipermudah?’ sepertinya terjadi dalam kasus rafaksi ini. Kami memprediksi praktik mengulur waktu yang tidak sesuai dengan komitmen dan pertanggungjawaban jelas menjadi sinyal serius atau tidaknya Kemendag menyelesaikan utang rafaksi migor kepada peritel modern di seluruh Indonesia,” tegas Roy.
Dia pun menuding Mendag Zulkifli enggan ‘mencuci piring’ atas konsekuensi dari peraturan yang dibuat pada era Mendag Muhammad Lutfi. Menurutnya, kasus utang rafaksi minyak goreng ini akan mencederai kepercayaan dunia usaha terhadap pemerintah.
“Pemerintah tidak mampu memberikan kepastian hukum kepada dunia usaha yang nanti akan berdampak buruk terhadap iklim bisnis dan investasi, yang dapat saja memengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia,” lanjut Roy.
Roy menambahkan Aprindo akan mengambil langkah yang signifikan, tegas, dan terukur untuk kasus rafaksi yang belum selesai dan berlarut larut ini. Namun, dia tidak mengelaborasi langkah apa yang dimaksudnya.
Sebelumnya, Kemendag meminta audit ulang secara menyeluruh terhadap utang selisih harga atau rafaksi minyak goreng. Direktur Jenderal PDN Kemendag Isy Karim mengatakan LO Kejagung belum cukup kuat untuk dapat mencairkan utang rafaksi minyak goreng senilai lebih dari Rp800 miliar.
Kejagung, jelasnya, hanya menegaskan agar Kemendag mencairkan utang tersebut melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Permasalahannya, Kemendag berdalih bahwa peraturan yang mengatur soal kebijakan minyak goreng itu sudah tidak lagi berlaku. Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 3/2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh BPDPKS.
Beleid tersebut sudah tidak berlaku setelah diterbitkannya Permendag No.6/2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit.
Permendag No. 3/2022 juga menjadi acuan Kemendag untuk menjalankan kebijakan minyak goreng satu harga yang dijalankan pada 19—31 Januari 2023. Kala itu, secara sepihak otoritas perdagangan memerintahkan pelaku usaha untuk menjual minyak goreng dengan harga Rp14.000/liter.
“Kalau isi dari LO-nya Kejagung, bahwa meskipun permendagnya itu sudah dicabut, kewajiban hukum dari pelaksanaan pemerintah saat itu masih tetap berlaku. Intinya itu. Memang ada disclaimer-nya, tetapi untuk pembayarannya itu juga tetap ‘berdasarkan ketentuan yang berlaku’. Kemudian, ‘berdasarkan ketentuan yang berlaku’ itu catatan di bawahnya adalah sesuai dengan hasil survei, hasil verifikasi, yang dilakukan oleh surveyor independen; dalam hal ini Sucofindo,” katanya ditemui seusai rapat dengan Komisi VI DPR RI, Selasa (6/6/2023).
Sementara itu, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menegaskan pencairan utang rafaksi minyak goreng tidak akan dilakukan sampai dengan hasil audit dari BPKP tuntas.
“Kami minta yang audit itu auditor negara. Kalau sudah diaudit, baru saya kirim. Kita lihat dahulu dong satu-satu, jangan main boleh-boleh [dicairkan utangnya] gitu. Nanti kita lihat dahulu, kalau sudah selesai, kita kasih lihat boleh [dicairkan] atau tidak,” tuturnya.
(wdh)