“Saya mau audit, usulkan, LSM-LSM yang mendapat dana dari mana. Apalagi sekarang banyak sekali saya kira LSM-LSM yang menggunakan dana-dana sumbernya tidak jelas. Saya pikir saya akan usulkan upaya ini," kata Luhut di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis (8/6/2023).
Pandangan yang digunakan itu pandangan nasionalis tapi menurut saya keliru ya pandangan nasionalisnya. Seakan-akan apa yang dibiayai asing itu pasti tidak nasionalis.
Pengamat Hukum Bivitri Susanti
Luhut mengatakan, sampai-sampai ada pejabat asing yang menanyakan kasus pencemaran nama baik dirinya yang menjadikan Haris dan Fatia tersebut sebagai terdakwa. Dalam sidang Luhut juga kerap menyinggung soal nasionalisme.
"Jangan pernah negara kami dicampuri oleh asing. Kami negara yang berdaulat," kata Luhut lagi.
Sementara analis Sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun membedah pernyataan Luhut yang dianggapnya mengandung dua kesalahan.
Pertama kata dia, sampai saat ini tidak ada undang undang yang memerintahkan seorang menko melakukan audit terhadap sumber dana LSM. Artinya tidak ada dasar hukumnya.
Kedua, sekalipun Luhut menggunakan Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) maka tetap keliru karena UU tersebut hanya mengamanatkan LSM menyerahkan laporan kepada pemerintah yakni bagi LSM yang mendapatkan pendanaan dari luar negeri. Itu pun tak wajib.
"Jadi bentuknya laporan kegiatan itupun jika pemerintah meminta, bukan pemerintah yang melakukan audit," kata Ubedilah Badrun saat dihubungi melalui sambungan telepon, Minggu (11/6/2023).
Lazimnya, audit terhadap lembaga LSM juga sudah dilakukan oleh pemberi dananya atau donornya. Hal itu dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban penerima.
Lanjut Ubedilah, posisi LSM itu dalam konteks demokrasi posisinya sebenarnya setara dengan pemerintah. Artinya sama-sama punya kewajiban moral untuk menjaga dan merawat demokrasi dan memiliki kontribusi yang sama pentingnya dalam membangun demokrasi. LSM dan pemerintah juga sama-sama menggunakan dana asing dalam kerja-kerja universal misalnya dalam isu kemanusiaan, kesehatan, lingkungan, pendidikan, buruh. Misalnya, pemerintah juga sering kerja sama dengan lembaga-lembaga internasional seperti UNDP, WHO, ILO untuk melakukan training, kegiatan pemberdayaan, penelitian dan sebagainya.
Ubedilah yang juga Direktur Eksekutif Center for Social, Political, Economics and Law Studies (CESPELS) mengatakan, Luhut karena itu perlu diingatkan bahwa hal ini tak masuk dalam koridor tugasnya sebagai menko marves.
Takut Kritik
Keinginan Luhut Pandjaitan untuk mengaudit LSM karena curiga sumber dan aliran dana juga dinilai bakal menambah performa buruk pemerintah pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dampak buruk lainnya adalah hilangnya gairah berorganisasi dan berserikat yang pada ujungnya merusak kualitas demokrasi.
Di sisi lain, pemerintah sendiri gagal menghadirkan tata kelola pemerintahan yang baik hingga pemerintahan yang bersih. Terbukti skor indeks persepsi korupsi (IPK) pada 2022 melorot hingga 34.
"Lalu mengaudit keuangan LSM? ini sesuatu yang sangat ironi. Secara akumulatif pada akhirnya langkah pemerintah ini merusak kebebasan sipil dan itu artinya memperburuk demokrasi Indonesia," kata Ubedilah.
Dia menambahkan, kencang tercium aroma bahwa rencana pemerintah yang ingin mengaudit LSM memang memiliki motif ingin membungkam kritik yang merupakan tugas dan tanggung jawab civil society.
"Biasanya jika pemerintah takut berlebihan kepada LSM hingga berperilaku represif itu menunjukan ada banyak problem besar yang sedang terjadi di tubuh pemerintah," lanjut dia.
Sementara Bivitri mengatakan, dia melihat adanya kecenderungan represif terhadap kebebasan berpendapat dan berorganisasi belakangan ini termasuk dengan keberadaan UU Ormas. Represi melalui regulasi bisa dilakukan dengan tiga cara. Pertama melalui perangkat undang undang termasuk di dalamnya UU ITE yang mengandung pasal karet dan bisa menjerat atas dasar pencemaran nama baik. Kedua, melalui pengetatan hingga intervensi dalam prosedur organisasi. Ketiga, mempersulit pendanaan agar organisasi tidak bisa melakukan kegiatan.
Dia mengatakan, menghadap-hadapkan LSM penerima donor asing dengan sikap nasionalis juga salah kaprah. Sikap ultranasionalis 'nasionalis berlebihan' yang dengan kacamata kuda mengharamkan dana asing amat keliru dan tidak konsisten.
"Kereta cepat Jakarta-Bandung kan uang asing juga. Terus kita mau nolak semua uang asing? LRT, MRT, semua juga uang asing. Maksudnya ya biasa-biasa sajalah ini kan kita sudah biasa ya antara negara begini asal semuanya dipertanggungjawabkan dengan baik," kata dia.
"Pandangan yang digunakan itu pandangan nasionalis tapi menurut saya keliru ya pandangan nasionalisnya. Seakan-akan apa yang dibiayai asing itu pasti tidak nasionalis. Ya dicek aja, benar enggak ada kepentingan-kepentingan asing itu," tutupnya.
(ezr)