Adapun koreksi tersebut dipicu oleh harga komoditas yang lebih rendah di pasar global, serta tingkat permintaan dalam dan luar negeri yang lemah.
Tim Research Phillip Sekuritas Indonesia memaparkan, ini adalah deflasi pada tingkat produsen selama 8 bulan beruntun, dan merupakan laju deflasi terparah sejak Februari 2016 di tengah pelemahan permintaan dan penurunan harga sejumlah komoditas.
“Tingkat inflasi (Consumer Price Index/CPI) yang sangat rendah pada Mei ini memberi Bank Sentral Tiongkok (PBOC) ruang untuk melonggarkan kebijakan moneter seiring dengan semakin kencangnya permintaan pemangkasan suku bunga acuan untuk mendukung pemulihan ekonomi,” jelas Tim Research Phillip Sekuritas.
Kemudian, data Cadangan Devisa (Cadev) Indonesia pada Mei 2023 tergerus US$4,9 miliar sehingga nilainya turun ke level terendah sejak akhir 2022 di mana saat itu posisi Cadev tercatat sebesar US$137,2 miliar. Adapun koreksi tersebut memberi peringatan lebih lanjut tentang tingginya ketidakpastian global yang bisa membatasi pertumbuhan ekonomi.
Bank Indonesia (BI) melaporkan, posisi Cadev pada akhir Mei kemarin mencapai US$139,3 miliar, menurun 3,4% dibandingkan posisi bulan sebelumnya sebesar US$144,2 miliar. Penurunan nilai Cadev sampai US$4,9 miliar itu juga menjadi yang terbesar sejak Maret 2020.
Menurut BI, penurunan posisi Cadev tersebut antara lain dipengaruhi oleh kebutuhan pembayaran utang luar negeri Pemerintah dan antisipasi kebutuhan likuiditas valuta asing (Valas) perbankan sejalan dengan meningkatnya aktivitas perekonomian.
Investor juga tengah menanti rilisnya data Indeks Keyakinan Konsumen Indonesia yang akan diumumkan pada pagi jelang siang hari ini. Adapun perkiraan saat ini IKK akan bergerak naik lebih tinggi dari bulan sebelumnya sebesar 126,1 pada April.
Sentimen selanjutnya, Departemen Perdagangan Amerika Serikat (AS) mencatat defisit perdagangan AS melebar tertinggi dalam 6 bulan, pada data neraca perdagangan April.
Defisit perdagangan AS naik menjadi US$74,6 miliar. Dipicu oleh ekspor turun 3,6% menjadi US$249 miliar, sementara impor meningkat 1,5% menjadi US$323,6 miliar. Adapun angka ekspor yang terkontraksi tersebut karena terjadinya perlambatan permintaan global.
Kinerja tersebut dapat menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal II-2023.
Analis MNC Sekuritas Herditya Wicaksana menjelaskan, IHSG ditutup menguat ke 6.694 dan masih didominasi dengan munculnya volume pembelian, namun saat ini penguatan IHSG tertahan oleh MA-20.
“Posisi IHSG saat ini diperkirakan sedang berada di awal wave (iii) dari wave [iii] dari wave C, sehingga IHSG masih berpeluang untuk menguji rentang area 6.764–6.819 terlebih dahulu,” papar Herditya dalam riset yang diterbitkan pada Senin (12/6/2023).
Herditya juga memberikan catatan, apabila break support 6.562 atau bahkan di 6.542, maka IHSG rawan menuju ke 6.509–6.530.
Bersamaan dengan risetnya, Herditya merekomendasikan saham-saham berikut, EXCL, PNLF, TOWR, dan WOOD
Analis CGS-CIMB Sekuritas memaparkan, Bursa Saham AS atau Wall Street ditutup hijau pada akhir perdagangan Jumat pekan kemarin, dengan sentimen pergerakan harga saham yang tengah menanti data inflasi dan pengumuman kebijakan baru Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed)
Adapun pada perdagangan pekan kemarin IHSG juga ditutup menguat dengan kenaikan 27,69 poin, dengan investor asing mencatatkan net sell sebesar Rp326 miliar pada reguler market.
Melihat hal tersebut, CGS-CIMB memperkirakan IHSG berpotensi bergerak sideways cenderung menguat pada hari ini, dengan resistance 6.700 - 6.723 dan support 6.650 - 6.600 Dengan saham rekomendasinya ialah ANTM, PGAS, BBRI, INTP, BBTN, dan TBIG.
Picu Sikap The Fed
Laba perusahaan yang melonjak merupakan bagian besar dari masalah inflasi. Sehingga, mempertahankan suku bunga tinggi adalah cara terbaik untuk mengendalikannya, menurut jajak pendapat terbaru Bloomberg terhadap investor profesional dan ritel.
Sekitar 90% dari 288 responden dalam survei Markets Live Pulse mengatakan, perusahaan di kedua sisi Atlantik telah menaikkan harga yang melebihi biaya mereka sendiri sejak pandemi dimulai pada tahun 2020. Hampir empat dari lima mengatakan bahwa kebijakan moneter yang ketat adalah hal yang tepat untuk mengatasi inflasi yang didorong oleh laba.
Salah satu serangan inflasi terburuk dalam beberapa dasawarsa telah memicu rangkaian tuntutan penjelasan, dengan rantai pasokan yang rusak, pengeluaran pemerintah yang besar, dan kenaikan upah, semua menjadi penyebabnya. Namun, lonjakan markup perusahaan merupakan penyebab potensial lain yang patut mendapat perhatian, seperti sekarang.
Margin melonjak di tahun-tahun awal pandemi, dan telah menentang konvensi dengan berada di titik yang tinggi secara historis sejak saat itu. Hal tersebut menimbulkan dua pertanyaan kunci: Apakah laba yang lebih besar membantu mempertahankan inflasi, dan jika demikian, apa yang harus dilakukan? Ini adalah bagian dari perdebatan yang lebih luas tentang apakah jenis tekanan harga yang berbeda memerlukan alat yang berbeda pula untuk mengatasinya, alih-alih satu jenis tanggapan untuk tingkat suku bunga yang lebih tinggi.
Sebagian besar peserta survei MLIV Pulse berpandangan bahwa pengetatan moneter oleh bank sentral merupakan respons yang tepat terhadap kenaikan harga yang digerakkan oleh laba. Sekitar seperempatnya tidak setuju, dan menawarkan solusi alternatif termasuk penggunaan tarif pajak perusahaan terhadap para pengungkit harga, dan aturan anti-monopoli yang lebih ketat.
(fad/dhf)