Mayoritas negara-negara di dunia sejauh ini masih berjibaku mengendalikan dan menekan obesitas yang sudah menjadi endemi global. Obesitas meningkat lebih dari dua kali lipat sejak 1980, termasuk di Indonesia.
Mengacu pada dokumen Kementerian Kesehatan RI, pada 2014 lalu lebih dari 1,9 miliar orang dewasa dengan usia di atas 18 tahun mengalami kelebihan berat badan.
Dari jumlah itu, lebih dari 600 juta mengalami obesitas. Sebanyak 41 juta anak di bawah usia 5 tahun juga mengalami kelebihan berat badan dan obesitas. "Berat badan berlebih dan obesitas menjadi penyebab kematian populasi di berbagai negara di dunia dibandingkan dengan berat badan kurang," jelas Kemenkes dikutip Senin (12/6/2023).
Prevalensi kelebihan berat badan tertinggi terdapat di wilayah WHO Amerika dan terendah di Asia Tenggara. Dampak ekonomi global akibat obesitas tidaklah kecil. Sedikitnya mencapai US$ 2 triliun per tahun, hampir sama dengan dampak ekonomi yang timbul akibat isu kesehatan karena merokok dan perang global.
Angka tersebut termasuk biaya kesehatan serta biaya yang terkait dengan kehilangan produktivitas. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan target tahun 2025 untuk mempertahankan prevalensi obesitas kembali ke angka saat 2010.
Obesitas dipicu terutama oleh konsumsi makanan yang tidak sehat (fastfood, makanan tinggi gula, lemak, kurang serat), juga karena pola aktivitas fisik yang sangat kurang (sedentary) juga faktor stres yang mempengaruhi pola tidur. Selain itu ada juga faktor hormonal dan obat-obatan.
Di Indonesia, tren obesitas memang terus meningkat. Sebagai gambaran, pada 2007, prevalensi obesitas di Indonesia baru 19,1.
Namun, pada 2013 angkanya melompat menjadi 26,3. Bahkan pada 2016 dan 2018, angkanya semakin tinggi menjadi 33,5 dan 35,4. Penduduk berjenis kelamin perempuan sejauh ini lebih banyak yang mengalami obesitas dengan angka prevalensi 44,4 dibanding penduduk berjenis kelamin laki-laki 26.
Menurunkan angka obesitas menjadi salah satu target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024. Menteri PPN/Bappenas Suharso Monoarfa mengungkapkan, target menurunkan obesitas tersebut menjadi satu dari 10 target pemerintah terkait pembangunan manusia Indonesia, yang kemungkinan besar akan gagal dicapai pada 2024.
El Niño dan Harga Pangan
Kedatangan El Niño telah memicu kenaikan harga pangan di seluruh dunia karena kekeringan telah membuat panen gagal sehingga pasokan menjadi berkurang. Membuat lonjakan harga di berbagai komoditas.
Indonesia menghadapi penurunan produksi padi antara 1-5 juta ton karena El Niño tahun ini dan dikhawatirkan bisa memicu kenaikan harga beras yang sejauh ini sudah banyak naik.
Di Eropa, kenaikan harga gula melampaui kenaikan komoditas lain dan mengalahkan kenaikan global. Setahun terakhir kenaikan harga gula di Eropa sudah 80% dan melonjakkan biaya produksi minuman ringan, permen, dan es krim.
Berdasarkan laporan Bloomberg News, produksi gula Eropa terperosok ke level terendah dalam lima tahun dan kebanyakan karena cuaca yang tidak mendukung produksi.
Coklat juga melesat naik karena El Nino. Produksi biji kakao di Afrika Barat - wilayah pertumbuhan terbesar - dapat turun di musim depan sebanyak 8% karena cuaca buruk, menurut Fuad Mohammed Abubakar, kepala Perusahaan Pemasaran Kakao Ghana.
Harga kakao sudah melonjak ke level tertinggi dalam tujuh tahun musim ini menyusul panen yang mengecewakan di eksportir utama Pantai Gading yang memperburuk defisit global.
Mungkin kenaikan harga-harga komoditas lunak yang mempengaruhi harga jual makanan-makanan manis, salah satu biang obesitas, bisa memberi alasan bagi Anda yang sering mencari alasan menunda diet. Walau harus digarisbawahi bahwa lonjakan harga pangan akibat El Nino itu bisa mengancam inflasi global kembali lagi.
Meski mungkin tidak akan separah 2022, tapi kenaikan harga berarti rumah tangga harus merogoh uang lebih banyak lagi untuk berbelanja kebutuhan mulut.
(rui)