Mantan ketua Mahkamah Konstitusi pada periode 2008-2013 itu menyinggung penurunan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang semakin buruk. Pada 2022, IPK Indonesia mencatat penurunan besar sejak era Reformasi.
Berdasarkan data Transparency International, selama periode 2014-2022 di masa pemerintahan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), IPK Indonesia stagnan bahkan cenderung memburuk. Pada 2014, IPK Indonesia masih di 34, lalu sempat membaik pada 2019 dengan capaian nilai 40 dan peringkat global 96.
Akan tetapi, pada 2022, skornya merosot lagi menjadi 34, kembali ke titik mula dengan peringkat korupsi Indonesia merosot lagi ke posisi 110 dunia.
Proses seleksi atau rekrutmen jabatan-jabatan publik harus diperketat. Tidak boleh berdasarkan pesanan, terutama untuk lembaga-lembaga penegak hukum.
Mahfud MD, Menko Polhukam
Penurunan IPK Indonesia mengindikasikan persepsi publik terhadap korupsi di jabatan publik dan politis di tanah air memburuk pada periode tersebut. Skor indeks diukur dengan skala 0 (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih), sehingga semakin tinggi nilai persepsi korupsi sebuah negara maka semakin rendah korupsi terjadi di negeri itu.
"Kesimpulannya, itu memang terjadi conflict of interest di dalam jabatan-jabatan politik. Di DPR terjadi transaksi-transaksi dibalik meja, MA pengadilan bisa membeli perkara, di pemerintah, di birokrasi sama. Itu temuannya," cetus Mahfud.
Ancaman bagi investasi
Masih tingginya korupsi di Indonesia yang terlihat dari penurunan skor indeks persepsi korupsi tersebut dapat mengancam ambisi negeri Khatulistiwa untuk menggenjot investasi.
Korupsi menjadi salah satu risiko terbesar yang mengancam efisiensi berbisnis dan berinvestasi di Indonesia terutama di mata asing yang sangat diharapkan datang dan menanam duitnya di sini.
Dalam hal memperebutkan investasi di Asia Tenggara, sejauh ini Indonesia masih tertinggal oleh Vietnam. Vietnam, negeri yang baru selesai berperang pada 1975 silam, menjadi yang paling diuntungkan dari saga perebutan kue investasi imbas ketegangan hubungan Beijing-Washington dalam perang dagang beberapa tahun terakhir.
Investasi perusahaan-perusahaan besar kelas dunia banyak mengalir ke Vietnam, yang sejauh ini dinilai lebih siap segalanya dalam menyambut kedatangan investor asing. Negeri itu mencatat tingkat efisiensi lebih tinggi di antara negara-negara kawasan ASEAN. Skor Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Vietnam selama kurun 2015-2019 sudah di level 3,7, terendah di ASEAN.
Sedangkan skor ICOR Indonesia masih tinggi sebesar 6,8, lebih tinggi dibandingkan Malaysia 5,4 dan Filipina 4,1. Skor ICOR tinggi mengindikasikan negara tersebut kurang efisien untuk berinvestasi di mana semakin rendah angkanya maka semakin efisien negeri itu untuk berinvestasi.
Bukan cuma itu. Dari sisi kemudahan berbisnis, Vietnam juga lebih unggul dibanding Indonesia. Mengacu pada indeks Ease of Doing Business (EoDB) yang dirilis oleh World Bank pada 2019, Vietnam mencatat skor 70, sedangkan Indonesia masih 73.
Indonesia bahkan kalah dari Malaysia yang nilainya 12 dan Thailand dengan skor 21. Apalagi dibandingkan Singapura yang hampir sempurna dengan nilai 2.
Indonesia juga dipecundangi Vietnam perihal perang melawan korupsi. Indeks Persepsi Korupsi negeri yang dilewati sungai Mekong itu sejauh ini lebih bagus ketimbang Indonesia yakni dengan nilai 42 pada 2022 lalu, mengalahkan Thailand 36, Filipina 33 juga Myanmar 23. Vietnam berada di urutan ketiga negeri paling bersih di ASEAN setelah Malaysia yang nilainya 47 dan Singapura dengan skor 98.
Skor ICOR yang masih tinggi, juga nilai EoDB yang kalah jauh dari negeri-negeri tetangga, memperlihatkan Indonesia masih punya PR besar. Kemerosotan indeks persepsi korupsi semakin membuat PR itu jauh dari selesai.
Jebakan kelas menengah
Pemerintah Jokowi menggeber berbagai upaya agar keran investasi global dapat mengucur deras ke Indonesia menyusul upaya Indonesia keluar dari middle income trap. Indonesia tidak bisa lagi hanya mengandalkan ekspor komoditas alam ataupun konsumsi domestik yang selama ini menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi.
Indonesia dituntut memperbesar sumbangan investasi dalam produk domestik bruto sehingga mempercepat upaya negara berpenduduk hampir 300 juta jiwa itu menapaki jalur menuju kelompok negara maju.
Jebakan kelas menengah alias middle income trap adalah sebuah istilah yang pertama kali dikemukakan oleh Bank Dunia, mengacu pada sebuah negara yang mampu mencapai tingkat pendapatan menengah akan tetapi tidak mampu keluar dari tingkatan tersebut ke level pendapatan negara maju.
Negara berpendapatan menengah adalah yang mencatat pendapatan per kapita antara US$3.856 hingga US$11.905 per tahun, berdasarkan kategorisasi yang dibuat oleh World Bank. Di mana posisi Indonesia saat ini?
Berdasarkan data BPS, sampai 2022, Indonesia mencatat pendapatan per kapita sebesar US$4.783, tumbuh 37,56% dalam kurun waktu 8 tahun sejak 2014, atau ketika Presiden Jokowi pertama kali menjabat. Tahun ini, pendapatan per kapita RI diprediksi bisa menembus US$5.000, walau itu masih jauh untuk membawa Indonesia ke kelompok negara maju.
Agar bisa keluar dari kelompok kelas menengah dan menjadi negara maju, Indonesia harus bisa mencetak pertumbuhan 6%-7% per tahun, menurut hitungan Kementerian PPN/Bappenas RI. Nyatanya, dalam 10 tahun terakhir, Indonesia tidak pernah mencetak pertumbuhan hingga 6%.
Berdasarkan RPJMN 2020-2024, target keluar dari middle income trap ditetapkan pada 2036 di mana pendapatan per kapita RI dikejar sebesar US$12.233 pada 2035. Target itu bisa tercapai dengan asumsi pertumbuhan ekonomi pada 2020-2025 sebesar 6% lalu 2025-2030 sebesar 6,2%, berlanjut pada 2030-2035 sebesar 5,9%.
Untuk kesana, penyakit lama yang membuat skor efisiensi investasi dan berbisnis di Indonesia tak kunjung membaik, yakni korupsi, perlu lebih keras diberantas.
Melemahkan demokrasi untuk investasi?
Menurut The Economist Intelligence Unit (EIU), Indeks Demokrasi di Indonesia merosot ke level terendah dalam 14 tahun pada 2020 lalu dengan skor 6,3. Penurunan itu selain karena kebijakan penanganan pandemi Covid-19 yang sempat dinilai tidak efektif, juga dipicu oleh beberapa kebijakan publik kontroversial yang dirilis tanpa cukup melibatkan input dan aspirasi masyarakat.
Ada dua beleid yang menjadi sorotan mengingat prosesnya yang elitis dan mengesampingkan protes masyarakat bahkan menelan korban meninggal di tengah panasnya aksi demonstrasi ketika itu. Yaitu, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir 2019 dan penerbitan Undang-Undang Cipta Kerja alias Omnibus Law pada akhir 2020.
Dua beleid itu bermuara pada satu ambisi besar pemerintahan Jokowi yakni menggelar karpet merah bagi investor agar berbondong masuk ke Indonesia. UU KPK yang lama dinilai oleh Istana menjadi penghambat investasi sehingga perlu direvisi. Adapun Omnibus Law, selain ditujukan untuk mempermudah investor juga diyakini oleh Jokowi akan dapat menolong perekonomian Indonesia yang tengah dibayangi ketidakpastian global.
Pertaruhan itu mungkin bisa dianggap berbuah manis bila mengacu pada realisasi investasi pada periode semenjak dua beleid kontroversial itu dirilis. Mengacu data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), pada 2019, realisasi investasi mencapai Rp809,6 triliun.
Ketika pandemi Covid-19 meletus, realisasi investasi hanya tumbuh 2,06% seiring tiarapnya perekonomian di seluruh dunia. Lalu, tahun berikutnya angka tersebut mampu tumbuh 9,04%.
Kemudian pada 2022, nilai investasi memecahkan rekor dengan pertumbuhan 34% mencapai Rp1.207,2 triliun. Untuk tahun ini, pemerintah menargetkan realisasi investasi Rp1.400 triliun di mana pada kuartal I lalu angkanya baru tercapai Rp328,9 triliun.
Akan tetapi, apabila menilik tren pertumbuhan investasi dan sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dalam 10 tahun terakhir Indonesia justru terlihat berjalan mundur.
Berdasarkan data BPS, Indonesia pernah mencatat pertumbuhan PMTB yang tinggi sebesar 9,13% pada 2012 dengan sumbangan sektor investasi terhadap PDB mencapai 32,72%. Malah pada 2015, sumbangan investasi pada PDB menembus 33,19%, tertinggi sejak 2010.
Namun, sejak 2019 trennya justru terus menurun. Laju pertumbuhan investasi pada 2019 hanya 4,45%, lalu terkontraksi alias turun hampir 5% saat pandemi pecah.
Pada 2021, investasi hanya tumbuh 3,8% lalu pada tahun berikutnya stagnan di 3,87%. Terakhir pada kuartal 1 lalu, pertumbuhannya makin kecil hanya 2,11%.
Di saat yang sama, sumbangan investasi terhadap PDB juga terus merosot secara konsisten sejak 2019. Yaitu dari sebesar 32,35% menjadi 29,08% pada 2022 dan 29,11% pada kuartal 1-2023.
-- dengan bantuan laporan dari Sultan Ibnu Affan.
(rui)