Dalam waktu dekat Kementerian ESDM akan mengadakan pertemuan dengan pihak-pihak terkait untuk membahas rencana moratorium smelter nikel RKEF, termasuk dengan Kementerian Perindustrian (Kemenpenrin).
Dengan adanya moratorium tersebut, diharapkan investasi smelter nikel HPAL akan meningkat. Tentu saja, hal tersebut akan memberikan pengaruh positif terhadap pengembangan ekosistem kendaraan listrik di Tanah Air.
“Smelter [nikel] ini kan ada yang terintegrasi [dengan tambang] dan non integrasi [dengan tambang]. Nah, ini kita harus duduk bersama agar ada kesepakatan. Kita harapkan ada komunikasi, dengan Kemenperin dengan lainnya,” tutur Arifin.
Merugikan Pemerintah
Terpisah, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa pemerintah sudah berupaya mencegah masuknya investasi smelter nikel RKEF. Upaya tersebut adalah menghentikan insentif pajak atau tax holiday untuk investasi smelter tersebut.
“Sudah enggak pernah kasih tax holiday, sudah di stop. Karena begini, tax holiday itu untuk [investasi smelter nikel RKEF] yang lama adalah agar nilai ekonomi dari investasi itu terwujud,” katanya di Komplek Parlemen, Jumat (9/6/2023).
Lebih lanjut Bahlil, menjelaskan bahwa pemberian insentif bagi smelter RKEF sebenarnya hanya menguntungkan pelaku usaha. Negara tidak bisa menikmati keuntungan yang diperoleh dari aktivitas penambangan dan pemurnian nikel.
“Smelter itu lima tahun sudah break even point [BEP]. Kita kasih tax holiday sampai 10 tahun. Itu enggak fair, kalau dapat untung harus bagi-bagi dong,” ungkapnya.
Tidak Sebanding dengan Produksi Tambang
Sebelumnya, Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) Alexander Barus menyebut moratorium smelter nikel RKEF sudah sangat mendesak untuk direalisasikan.
Sebab, jumlah lini pengolahan bijih nikel di Indonesia sudah mencapai 140 unit yang dengan kemampuan produksi mencapai 130 juta metrik ton per tahun. Angka tersebut tidak sebanding dengan volume produksi tahunan tambang bijih nikel yang tak lebih dari 100 juta metrik ton.
“Investasi di smelter yang menghasilkan NPI dan feronikel sudah seharusnya dibatasi. Sekarang sudah 140 line dengan kapasitas produksi 130 juta metrik ton. Penambang mau dapat 100 juta metrik ton saja harus kerja keras,” katanya ketika ditemui usai Reuni 45 Tahun Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) 1978 di The Westin Hotel, Jakarta Selatan, Selasa (9/5/2023).
Lebih lanjut, Alexander mengungkapkan investasi smelter nikel berbasis RKEF juga perlu dibatasi sejalan dengan menurunnya permintaan baja nirkarat. Hal tersebut terjadi akibat menurunnya pembangunan proyek perkantoran, perumahan, hingga infrastruktur di sejumlah negara karena pelemahan ekonomi global.
(rez/evs)