Logo Bloomberg Technoz

Penurunan posisi cadev RI pada Mei sejatinya sudah cukup diprediksi. Secara musiman, kebutuhan dolar AS pada Mei-Juni biasanya memang tinggi menyusul besarnya nilai utang luar negeri pemerintah yang jatuh tempo, juga kebutuhan valas oleh korporasi.

Nilai utang luar negeri jatuh tempo Indonesia pada Mei diperkirakan sebesar US$4,5 miliar, atau sekitar Rp66 triliun. Di sisi lain, kebutuhan valas pembayaran dividen korporasi juga tinggi.  Kebutuhan dividen 12 perusahaan terbuka di Bursa Efek Indonesia mencapai Rp140 triliun tahun ini, menurut hitungan Bahana Sekuritas, naik 20% dari tahun lalu sebesar Rp121,8 triliun. Di saat yang sama, ada juga kebutuhan impor minyak dan gas rutin oleh PT Pertamina (Persero) dan pembelian valasnya sekitar US$2,5 miliar - US$3 miliar sebulan. 

Pada Mei lalu, diperkirakan juga ada tambahan permintaan dolar AS di pasar sekitar US$ 5 miliar hingga US$ 7 miliar dari obligasi jatuh tempo Pertamina dan Pelindo juga repatriasi dividen yang lebih besar dari biasanya termasuk dari PT Astra International Tbk (ASII). 

Tingginya permintaan dolar AS di pasar tentu menekan nilai tukar rupiah. Ditambah lagi, rupiah juga menghadapi banyak tekanan eksternal sepanjang Mei lalu mulai dari isu debt ceiling atau batas pagu utang Amerika, juga arah bunga acuan Federal Reserve. Nilai cadev pun akhirnya banyak terkuras untuk mengintervensi pasar valas supaya tekanan terhadap nilai tukar rupiah tidak semakin liar.

Sepanjang Mei, nilai tukar rupiah melemah sekitar 2,15% sehingga menggerus return atau kenaikan rupiah selama 2023 menjadi tinggal 3,7%. Tekanan rupiah bulan lalu terjadi meski pemodal asing masih mencetak net inflow di pasar SBN sebesar Rp7,29 triliun dan di pasar saham Rp1,67 triliun, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Cadev terkuras untuk Pertamina

Gedung Pertamina ( Dok pertamina.com )

Penurunan nilai cadev yang cukup besar bulan lalu kemungkinan juga karena BI bertindak langsung sebagai pemasok satu-satunya valas di pasar.

"Menyadari tingginya permintaan valas Mei, BI memutuskan bertindak sebagai satu-satunya pemasok valas untuk menjaga dinamika pasar tetap sehat. Langkah serupa pernah dilakukan mantan Gubernur BI Darmin Nasution yang pada 2013 melarang Pertamina dan PLN masuk ke pasar valas," kata Satria Sambijantoro, ekonom Bahana Sekuritas. 

Sebagai gambaran, kebutuhan valas Pertamina untuk mengimpor BBM setiap bulan diperkirakan sekitar US$ 2,5 miliar hingga US$ 3 miliar. Biasanya Pertamina menggandeng pengadaan valas pada bank-bank BUMN yang akan lanjut mencari di pasar uang. Dengan intervensi langsung sebagai pemasok, gejolak pasar valas bisa dimoderasi sehingga tekanan pada rupiah pun lebih terkendali walau imbasnya nilai cadev tergerus.

Tekanan bisa berlanjut Juni

Penurunan nilai cadangan devisa bisa kembali berlanjut pada Juni ini dengan lonjakan permintaan valas di pasar yang masih akan tinggi. Beberapa perusahaan besar seperti PT Unilever Tbk (UNVR) dan PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) akan membagikan dividen, juga konversi pendapatan Pertamina dari dolar rupiah ke dolar AS, menurut catatan Bahana.

Akan tetapi, menurut prediksi Satria, nilai tukar rupiah mungkin masih akan bertahan stabil di rentang Rp14.850-Rp15.000/US$ apabila BI melanjutkan strategi saat ini dengan masuk langsung ke pasar sebagai pemasok valas, terutama untuk memenuhi permintaan pembelian dolar AS dalam jumlah kakap.

Ilustrasi uang rupiah, (Photo By johan10 via Envato)

Defisit transaksi berjalan

Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memperkirakan, posisi cadangan devisa RI hingga akhir tahun nanti akan berkisar US$ 135 miliar hingga US$ 155 miliar. "Kombinasi dari penurunan harga komoditas secara bertahap dan penerapan instrumen term deposit valas Devisa Hasil Ekspor yang efektif berkontribusi pada prospek posisi cadev tetap di angka yang memuaskan," jelasnya dalam catatan, Jumat (9/6/2023).

Posisi transaksi berjalan atau current account balance (CA) menuju defisit yang terkendali sekitar -0,65% dari PDB pada 2023. Hal tersebut, kata Faisal, menandai pembalikan dari kondisi tahun sebelumnya, di mana terjadi surplus sebesar 0,99% dari PDB. Namun demikian, proyeksi defisit tetap berada di bawah ambang batas 3% dari PDB, menunjukkan bahwa transaksi berjalan tetap dalam kondisi yang kuat.

Penurunan current account  terutama disebabkan oleh moderasi pertumbuhan ekspor yang dipicu oleh penurunan harga komoditas akibat melemahnya permintaan global di tengah berlanjutnya tekanan inflasi dan berlanjutnya kenaikan suku bunga kebijakan.

"Potensi risiko yang timbul dari kenaikan suku bunga kebijakan global yang berkelanjutan di tengah berlanjutnya inflasi global dapat memicu sentimen risk-averse di pasar portofolio, sehingga menghambat aliran masuk modal ke pasar obligasi dan pasar saham," imbuh ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman dalam catatannya.

Namun, otoritas bisa mengantisipasi risiko-risiko itu dengan tindakan yang tepat. Hilirisasi sumber daya alam yang berpotensi meningkatkan arus masuk investasi langsung ke Indonesia, juga kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE), bisa mengimbangi tekanan pada transaksi berjalan dan menjaga posisi cadev di posisi yang aman.

"Cadangan devisa yang kuat berpotensi mendukung nilai tukar rupiah di tengah periode ketidakpastian global yang meningkat," imbuh Faisal yang memprediksi USD/IDR akan ditutup pada kisaran Rp14.864/US$ pada akhir tahun ini.

(rui/roy)

No more pages