Namun, risiko global yang dinilai makin besar membuat optimisme pemerintah berkurang untuk 2024.
Dalam rapat dengan Komisi XI DPR, Kamis (8/6/2023), pemerintah dan Bank Indonesia (BI) mengajukan kisaran asumsi pertumbuhan ekonomi 2024 di angka 5,1%-5,7%. Angka itu lebih rendah dibandingkan naskah awal Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) sebesar 5,3%-5,7%. Sementara itu Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi RI pada 2024 akan berkisar 4,7%-5,5%.
"Asumsi pertumbuhan ekonomi yang lower end diturunkan sesuai asesmen BI dan pemerintah yang melihat risiko global akan meningkat," kata Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan RI.
Risiko global berlanjut hingga 2024
Indonesia memang tak kalis dalam menghadapi tekanan perlambatan ekonomi global yang saat ini mulai berdampak pada perekonomian domestik. Inflasi tinggi yang masih belum jinak terutama di perekonomian utama, Amerika Serikat dan Eropa, telah membuat posisi bunga acuan di level tertinggi setidaknya dalam empat dekade terakhir.
Agresifitas bank sentral di developed market dalam mengerek bunga acuan untuk mengendalikan inflasi, mau tidak mau turut mempengaruhi stance kebijakan bank sentral di negara berkembang termasuk Indonesia. Alhasil, mempertahankan kebijakan moneter ketat dalam waktu lebih lama menjadi pilihan kendati berbagai sinyal perlambatan akibat kenaikan bunga acuan sudah mulai menjangkiti perekonomian.
BI secara terang-terangan menegaskan fokusnya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan mengantisipasi risiko imported inflation dengan tetap mempertahankan bunga tinggi di level 5,75% dalam beberapa bulan terakhir, walaupun inflasi domestik saat ini sudah terjangkar di target bank sentral dan sinyal perlambatan ekonomi RI kian kentara. Tentu bank sentral melihat itu sehingga melontar proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini yang disebut tidak lagi berpeluang "bias ke atas" dari kisaran 4,5%-5,3%.
Baca juga: Gejala Perlambatan Ekonomi Makin Banyak, Target Pertumbuhan Jokowi Tahun Ini Bisa Gagal
Perlambatan ekonomi 2023 dan diturunkannya asumsi makro pertumbuhan untuk 2024 sejalan dengan teropongan Bank Dunia dalam laporan outlook terbaru. "Pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan melambat secara signifikan pada semester dua tahun ini di mana perlambatan itu akan berlanjut hingga 2024. Ada kemungkinan perluasan tekanan di sektor perbankan dan pengetatan moneter akan membawa pertumbuhan global menjadi lebih lemah," demikian tulis World Bank dalam laporannya.
Di sisi lain, menurut OECD, sudah pasti bank sentral sebaiknya tidak terlalu memperketat ekonomi sampai pada titik di mana kebijakan itu akan berdampak lebih besar pada pertumbuhan ketimbang yang dibutuhkan. Dan hal tersebut akan menjadi keseimbangan yang sulit bagi bank sentral.
"Akan tetapi, kami hari ini menyatakan bahwa mereka perlu mempertahankan kebijakan moneter yang ketat sampai ada bukti bahwa inflasi kembali ke target secara langgeng, termasuk inflasi inti dan inflasi IHK," ujar Clare Lombardelli, Chief Economist OECD, dalam konferensi pers seperti dilansir dari Bloomberg News, Rabu (7/6/2023).
Waspadai pukulan daya beli
Inflasi domestik sejauh ini sudah berada di sasaran target bank sentral. Dengan inflasi yang sudah cukup jinak, BI sebenarnya memiliki ruang lebih luas untuk menimbang pemangkasan bunga acuan untuk memberi stimulasi pada perekonomian domestik yang mulai seret.
Akan tetapi, hal itu tidak bisa serta merta dilakukan menurut para analis menilik ketidakpastian global yang masih tinggi utamanya menyangkut arah bunga acuan Federal Reserve yang berkorelasi langsung dengan stabilitas rupiah dan pergerakan pasar keuangan domestik.
Meski demikian, otoritas perlu mewaspadai pelemahan daya beli masyarakat. Pada Mei lalu, inflasi inti yang kerap dilihat juga sebagai acuan kekuatan daya beli masyarakat, turun signifikan ke level 2,66%. Ketika daya beli makin lemah, itu bisa menyeret lebih jauh pertumbuhan ekonomi mengingat saat ini Indonesia harus memastikan kinerja konsumsi masyarakat bisa melaju kencang.
Maklum, menyusul berakhirnya windfall harga komoditas yang mulai melukai kinerja ekspor-impor, disusul perlambatan permintaan global yang telah menyeret kelesuan manufaktur, satu-satunya mesin utama yang bisa diharap bisa mendongkrak pertumbuhan adalah konsumsi domestik. Yang jadi persoalan, sejauh ini konsumsi domestik juga masih lesu dengan capaian pertumbuhan 4,54% pada kuartal 1-2023, belum mampu kembali ke level prapandemi.
Hajat Pemilihan Umum pada Februari 2024 bisa memberi sedikit stimulus bagi pergerakan ekonomi. Pemilu serentak akan digelar pada Februari 2024 sehingga belanja terkait keperluan itu biasanya sudah dimulai tahun ini.
Analis Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro memperkirakan, belanja kampanye pemilu kemungkinan akan mencapai Rp179 triliun atau sekitar US$12 miliar dan memberi sumbangan 0,85% ke pertumbuhan ekonomi domestik. Perkiraan itu melampaui capaian belanja Pemilu 2014 dan 2019 yang diprediksi mencapai Rp48 triliun dan Rp75 triliun.
"Belanja Pemilu 2024 akan memberi dampak 0,2% terhadap pertumbuhan ekonomi 2024 di mana belanja rumah tangga akan mulai meningkat dua kuartal sebelum gelar Pemilu dilakukan," jelas analis seperti dilansir oleh Bloomberg News.
Bansos dan investasi yang berpihak
OECD memberi saran, untuk membantu bank sentral membatasi dampak tekanan kebijakan bunga acuan, pemerintah negara harus memberikan dukungan fiskal pada rumah tangga di mana penargetan juga perlu menyasar kelompok rentan. Hal yang sama juga disarankan oleh Bank Dunia. Pemberian bantuan sosial pada kelompok rentan bisa melindungi mereka dari dampak guncangan di masa mendatang.
“Indonesia juga harus meningkatkan perlindungan sosial dan inklusi keuangan guna memitigasi kerugian akibat guncangan pada masa mendatang. Bahkan, untuk melindungi rumah tangga dari kemiskinan, pemerintah perlu melakukan penargetan dan kecukupan bantuan sosial yang diberikan,” papar Bank Dunia.
Selain itu, Bank Dunia juga menekankan agar inklusi keuangan dapat diprioritaskan untuk memberikan akses yang lebih baik pada warga menengah bawah, misalnya melalui instrumen simpan pinjam. Pemerintah juga perlu mengarahkan pembiayaan investasi yang berpihak pada penduduk miskin, misalnya melalui peninjauan kembali kebijakan subsidi energi dan pertanian, yang dapat meningkatkan pendapatan pemerintah dan bisa dengan pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN).
(rui/roy)