Aspirasi tersebut mencerminkan ambisi perusahaan farmasi Jepang. Mereka kini berkembang, juga meraih kesuksesan dalam inovasi pengobatan revolusioner. Enhertu yang dibuat oleh Daiichi Sankyo merupakan bintang baru di dunia obat-obatan, yang disebut ADC (Antibody Drug Conjugates), yang menyerang sel kanker tanpa merusak sel sehat di sekitarnya.
Pada September lalu, obat Alzheimer yang dibuat oleh Eisai Co. menjadi obat pertama yang berhasil menumpulkan perkembangan demensia yang paling umum dalam uji coba skala besar.
Kurangnya sumber daya untuk menjalankan uji coba secara global dan distribusi jaringan, membuat perusahaan Jepang kerap menandatangani kesepakatan pengembangan bagi hasil dengan raksasa obat-obatan Barat.
Sekitar setengah keuntungan yang diperoleh dari Enhertu di luar Jepang, dibagi rata dengan AstraZeneca, yang pada 2019 berhasil mengumpulkan hampir US$7 miliar untuk bermitra dengan Daiichi Sankyo.
Obat Perintis
Enhertu memiliki potensi untuk melipatgandakan jumlah pasien kanker payudara yang bisa menerima pengobatan mujarab dan terarah, dengan efek samping lebih sedikit. Analis memproyeksikan bahwa pada akhirnya, Enhertu dapat menghasilkan lebih dari US$10 miliar dalam penjualan tahunan.
Obat kanker tersebut telah membantu melipatgandakan saham Daiichi Sankyo selama lima tahun, dan menjadikannya salah satu perusahaan paling berharga dalam patokan Index Topix di Jepang.
Perusahaan yang berbasis di Tokyo tersebut bekerja sama dengan AstraZeneca untuk mengembangkan ADC lain, Dato-DXd, untuk mengobati kanker paru-paru dan payudara. Daiichi Sankyo setidaknya memiliki tiga kandidat obat kanker lain yang masih dalam tahap pengembangan awal.
Terlepas dari keinginan untuk memproduksi sendiri, Daiichi Sankyo tidak sepenuhnya mengesampingkan kemungkinan kemitraan dengan perusahaan lain, jika obat-obatan tertentu ternyata berada di luar kapasitas mereka untuk dikembangkan dan dijual, kata Okuzawa.
“Salah satu ciri obat kanker adalah, Anda menyadari potensi penuh saat mengembangkannnya,” katanya. “Ada peluang bagi obat tersebut mencapai potensi penuhnya di luar batas kemampuan kami. Dalam kasus seperti itu, [kemitraan] masih bisa menjadi pilihan.”
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) kurang lebih 2,3 juta perempuan didiagnosis menderita kanker payudara di seluruh dunia setiap tahunnya. Sekitar 685.000 berakhir dengan kematian. Sekitar 15% hingga 20% kasus didorong oleh protein yang disebut HER2, yang berhasil dikalahkan oleh Enhertu pada pasien stadium akhir, dibandingkan pengobatan yang sudah ada.
Hasil studi yang dilakukan oleh Daiichi Sankyo dan AstraZeneca yang menentukan apakah Enhertu dapat menggantikan kemoterapi sebagai pengobatan pertama pada kanker payudara, akan selesai pada September.
Daiichi Sankyo juga berinvestasi di berbagai bidang, termasuk terapi gen dan vaksin mRNA untuk mengurangi ketergantungan perusahaan terhadap bisnis onkologi di masa mendatang, kata Okuzawa.
Obat kanker mereka saat ini menghasilkan seperlima dari total pendapatan perusahaan, dan diprediksi akan mencapai hampir setengahnya pada Maret 2026.
“Kesuksesan juga berarti risiko karena obat-obatan ditakdirkan untuk kehilagan perlindungan patennya,” katanya. “Kami tidak bisa terlalu gembira dengan kesuksesan ini. Kami harus mengidentifikasi langkah kami selanjutnya sementara masih mendapatkan arus kas yang cukup dari Enhertu.”
—Dengan asistensi dari Grace Huang dan Dong Lyu.
(bbn)