Kendaraan listrik roda dua atau sepeda motor listrik membutuhkan daya paling tidak 1,44 KWh dan kendaraan listrik roda empat atau mobil listrik sekitar 60 KWh. Adapun, masing-masing KwH dibutuhkan nikel sulfat sekitar 0,7 kg, mangan 0,096 kg, dan kobalt 0,096 kg.
“Semua bahan baku ada di Indonesia sekitar 93%, di mana 7% litium perlu impor. Jadi di sini kita perlu membalikan situasi harus bangun di dalam negeri penguatan kemampuan dalam negeri karena punya bahan baku itu semua,” tuturnya.
Produk turunan nikel sebagai bahan baku baterai litium pada umumnya menggunakan metode berbasis hidrometalurgi atau high-pressure acid leach (HPAL). Jumlah fasilitas pemurnian atau smelter yang menggunakan metode tersebut hanya empat.
“Hanya empat industri smelter yang masuk ke penghiliran [nikel untuk memproduksi] mulai dari HRC [hot rolled coil/baja canai panas], CRC [cold rolled coil/baja canai dingin], sampai turunannya. Ini perlu pengembangan ke depan, perlu membalikkan situasi agar [investasi] masuk lebih ke hilir,” ujar Taufiek.
Dengan adanya kebutuhan nikel sulfat sebesar itu, dia mendorong agar investasi smelter nikel berbasis hidrometalurgi bisa ditambah.
“Kami dari perspektif industri penghiliran butuh pendalaman di situ untuk memenuhi kebutuhan nasional, substitusi impor, dan ekspor yang menghasilkan devisa karena kekuatan kita di dunia [sebagai produsen nikel] sangat besar,” tegasnya.
(rez/wdh)