Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta – Kementerian Perindustrian menilai investasi di sektor hilir nikel perlu dipacu, mengingat masih kurangnya fasilitas pemurnian (smelter) berbasis hidrometalurgi atau high-pressure acid leach (HPAL) untuk mengolah nikel kadar rendah alias limonite.

Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Taufiek Bawazier mengatakan saat ini terdapat 34 perusahaan nikel yang beroperasi di Tanah Air, tetapi hanya 4 di antaranya yang sudah menggarap investasi smelter HPAL.

“Hanya 4 industri smelter yang masuk ke penghiliran [nikel untuk memproduksi] mulai dari HRC [hot rolled coil/baja canai panas], CRC [cold rolled coil/baja canai dingin], sampai turunannya. Ini perlu pengembangan ke depan, perlu membalikkan situasi agar [investasi] masuk lebih ke hilir dan perlu dukungan Komisi VII untuk itu, karena diperlukan investasi,” ujarnya saat rapat bersama Komisi VII DPR RI, Kamis (8/6/2023).

Dia mengelaborasi ekspor produk nikel masih didominasi oleh feronikel dengan volume sebanyak 5,7 juta ton dan nilai US$13 miliar pada tahun lalu. Di sisi lain, ekspor slab HRC dan CRC mencapai US$4 miliar. Dengan kata lain, penjualan produk hilir komoditas mineral tersebut masih belum optimal.

“Kami dari perspektif industri penghiliran butuh pendalaman di situ untuk memenuhi kebutuhan nasional, substitusi impor, dan ekspor yang menghasilkan devisa karena kekuatan kita di dunia [sebagai produsen nikel] sangat besar,” ujarnya.  

Produsen nikel terbesar dunia pada 2022. (Sumber: Bloomberg)

Sekadar catatan, pemurnian berbasis pirometalurgi atau rotary kiln electric furnance (RKEF) adalah proses memisahkan bijih (ore) dan logam dengan pemanasan suhu tinggi. Sebaliknya, hidrometalurgi dilakukan dengan teknik reagen pelarut (solvent) pada suhu lebih rendah.

Menurut catatan Kemenperin, terdapat 17 perusahaan smelter pirometalurgi yang sedang dalam tahap konstruksi. Sementara itu, 6 lainnya masih dalam proses uji kelayakan di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Banten, dan Kalimantan Selatan.

“Posisi sekarang ini yang kita butuhkan [adalah smelter pirometalurgi] karena strategis untuk penghiliran nikel, baik untuk [memproduksi] peralatan dapur, kompor gas, maupun mesin pendingin. Produk-produk turunan nikel ini yang perlu dibangun di dalam negeri,” terangnya.

Adapun, untuk smelter hidrometalurgi, saat ini sudah terdapat 3 perusahaan yang beroperasi dengan kapasitas 950.000 ton per tahun, 1 yang melakukan studi kelayakan, dan belum ada yang memulai konstruksi baru.

Fasilitas ini digunakan untuk mengolah jenis nikel yang digunakan untuk membuat bahan baku baterai kendaraan elektrik atau electric vehicle (EV) di dalam negeri.

“Kami juga ada rule of thumb, tenaga baterai per unit EV roda dua sekitar 1,44 KWh dan untuk EV roda dua 60 KWh, sehingga dibutuhkan per KWh untuk nikel sekitar 0,7 kg, mangan 0,096 kg, kobalt 0,096 kg. Semua 93% bahan baku itu ada di Indonesia, sedangkan 7% lithium perlu impor. Jadi di sini kita perlu membalikkan situasi, harus bangun di dalam negeri untuk penguatan kemampuan domestik karena kita punya bahan bakunya,” kata Taufiek.

Taufiek memerinci Kemenperin tengah menyusun peta jalan pemenuhan kebutuhan bahan baku nikel untuk baterai EV. Menurut perhitungan kementerian, pada 2025, dibutuhkan sekitar 25.133 ton nikel untuk EV, 2030 sebanyak 37.669 ton, dan 2035 sejumlah 59.506 ton.

“Dengan kapasitas nasional, kita sudah mampu untuk suplai ini. Tinggal yang perlu diperkuat adalah investasi pabrik baterai yang bisa mendukung ekosistem kita,” ujarnya.

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan rencana memoratorium pembangunan smelter nikel  yang menggunakan teknologi RKEF atau pirometalurgi, guna mengantisipasi terkikisnya suplai bijih nikel mentah di dalam negeri.

Menurut catatan ESDM, cadangan nikel kadar tinggi atau saprolite di Indonesia mencapai 2,7 miliar ton dengan konsumsi anual sekitar 450 juta ton. Melihat hal itu, pemerintah berupaya menjaga agar pasok nikel mentah tidak habis di tengah kebutuhan yang tinggi.

Hingga kini, pemerintah belum menjabarkan skema dari rencana moratorium smelter nikel. Namun, ada kemungkinan, investasi fasilitas pemurnian bijih tidak akan lagi menerima insentif fiskal seperti libur pajak atau pembebasan bea keluar.

(wdh)

No more pages