Logo Bloomberg Technoz

Akan tetapi, apabila melihat data 10 tahun sebelumnya, memakai metode lama, terlihat bahwa level IDI cenderung stagnan sejak 2014. Pada metode lama, BPS menyebut tiga aspek penyusun IDI adalah Aspek Kebebasan Sipil, Aspek Hak-Hak Politik dan Aspek Lembaga Demokrasi. 

Indeks Demokrasi Indonesia (Dok. Badan Pusat Statistik)

Ada kecenderungan penurunan aspek di tiap tahun politik atau waktu sebelumnya. Pada 2019, sebagai contoh, aspek kebebasan sipil, satu dari tiga aspek penyusun IDI, mencapai level terendah di angka 77,2. Pada 2020, skornya naik tipis walau belum mampu di level tahun politik 2014 dan 2009 yang kisarannya di atas 80.

Adapun aspek hak-hak politik pada 2009 berada di level 56,60, naik lagi pada 2014 di level 63,72 dan pada 2019 melanjutkan kenaikan dengan skor 70,71. Akan tetapi, pada 2020, skornya justru anjlok ke 67,85. 

Adapun untuk aspek lembaga demokrasi, sebagaimana data BPS, memperlihatkan ada tren penguatan di setiap tahun pemilu diselenggarakan. Namun, pada 2020, skornya menurun ke 75,66.

Kebebasan Berpendapat

Bila ditelisik lebih dalam, beberapa variabel penyusun aspek IDI mencatat penurunan cukup dalam pada 2020. Berdasarkan data BPS, sebanyak enam dari 11 variabel terpantau merosot ke level terendah.

Misalnya, untuk aspek kebebasan sipil, variabel kebebasan berpendapat jatuh ke level terendah dalam 11 tahun terakhir di 56,06 pada 2020. Begitu juga variabel kebebasan dari diskriminasi pada 2020 juga turun dibanding 2019 ke level 90,88.

Indeks Demokrasi indonesia (Dok. Badan Pusat Statistik)

Lebih lanjut, penurunan juga terlihat di variabel partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan pemerintah yang menyusun aspek kebebasan sipil. Skornya pada 2020 anjlok ke 54, lebih rendah dibanding 2019 dan 2009. Peran partai politik juga menurun dengan skor 75,66 pada 2020.

Regulasi Bermasalah

Pada tahun 2021, IDI mencatat sebanyak 94 aturan yang memiliki substansi membatasi kebebasan berkumpul, berserikat, berekspresi, berpendapat, dan berkeyakinan. Peraturan-peraturan tersebut tersebar di 24 provinsi.

Sepuluh provinsi yang tidak mengeluarkan aturan tertulis yang dinilai membatasi kebebasan berkumpul, berserikat, berekspresi, berpendapat, dan berkeyakinan, yaitu Provinsi Bengkulu, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Papua.

Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan merupakan 3 (tiga) provinsi yang paling banyak memiliki aturan yang dinilai membatasi kebebasan berkumpul, berserikat, berekspresi, berpendapat, dan berkeyakinan yaitu masing-masing sebanyak 16 (enam belas) aturan di Sumatera Barat, 10 (sepuluh) aturan di Kalimantan Selatan, dan 9 (sembilan) aturan di Sulawesi Selatan.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (Al Drago/Bloomberg)

Dalam kasus termutakhir Menteri Luhut vs aktivis sosial, jaksa mendakwa Haris dan Fatia dengan pelanggaran Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3 Undang Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Pasal 14 ayat 2 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, serta Pasal 310 KUHP.

Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tahun 2008 sudah lama disebut sebagai salah satu regulasi problematis yang banyak berisi pasal karet dan sering menjadi ancaman kebebasan berpendapat dan berbicara. Undang-Undang yang terbit di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu sudah banyak memakan "korban", termasuk dari elemen masyarakat sipil seperti jurnalis. 

Pada 2019 misalnya, Dandhy Dwi Laksono, Jurnalis Watchdoc, dijerat dengan pasal ujaran kebencian karena menulis cuitan di akun Twitter pribadinya tentang kondisi politik di Wamena dan Jayapura. Lalu, pada tahun yang sama, Gencar Jarot merupakan seorang jurnalis sekaligus pemilik media berita online koranindigo.online di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, juga menjadi tersangka kasus ITE menyusul tulisannya tentang kebijakan rumah sakit daerah.

Kemudian ada juga jurnalis Fadli Aksar dan Wiwid Abid Abadi, jurnalis detiksultra.com dan okesultra.com juga dilaporkan ke polisi dengan jeratan pasal UU ITE karena liputannya tentang dugaan maladministrasi Pemilu Legistaltif di Sulawesi Tenggara.

Pada April lalu, berdasarkan siaran pers Kementerian Komunikasi dan Informatika, pemerintah bersama DPR-RI sepakat untuk memulai pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). 

Revisi atas UU ITE akan dilakukan agar dapat menjamin kepastian ketertiban di ruang siber dengan memberikan perlindungan bagi masyarakat dari penyalahgunaan teknologi informasi secara umum.  

“Kami telah mengadakan diskusi publik RUU ITE di bulan September dan Desember tahun 2022. Dari diskusi tersebut, terdapat masukan bahwa RUU ITE perlu menyertakan norma restorative justice. Usulan ini direncanakan dimuat dalam dua bagian UU ITE yakni keadilan restoratif berupa upaya penyelesaian tindak pidana yang merupakan delik aduan, dimana bagian penjelasan dimana bentuk aplikasi restorative justice yang dimaksud adalah penyelesaian di luar pengadilan,” jelas Johnny G. Plate, Menkominfo yang menjabat ketika itu.

(rui/aji)

No more pages