Logo Bloomberg Technoz

Dua beleid itu bermuara pada satu ambisi besar pemerintahan Jokowi yakni menggelar karpet merah bagi investor agar berbondong masuk ke Indonesia. UU KPK yang lama dinilai oleh Istana menjadi penghambat investasi sehingga perlu direvisi. Adapun Omnibus Law, selain ditujukan untuk mempermudah investor juga diyakini oleh Jokowi akan dapat menolong perekonomian Indonesia yang tengah dibayangi ketidakpastian global. 

Baca juga: Ampuhkah 'Kapal Nabi Nuh' UU Cipta Kerja Tarik Investasi?

Ketidakpastian global itulah yang disebut sebagai “kegentingan yang memaksa” dan menjadi alasan utama pemerintah bersikeras merilis Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) Cipta Kerja. Bahkan ketika Mahkamah Konstitusi telah menjatuhkan vonis UU Cipta Kerja sebagai “inkonstitusional bersyarat”.

“Ancaman-ancaman risiko ketidakpastian itulah yang menyebabkan kita mengeluarkan Perppu, karena itu untuk memberikan kepastian hukum, kekosongan hukum, yang dalam persepsi para investor baik dalam maupun luar. Itu yang paling penting, karena ekonomi kita ini di 2023 akan sangat bergantung pada investasi dan ekspor," kata Jokowi pada Januari lalu.

Tren Investasi dan Sumbangan PDB

Pertaruhan itu mungkin bisa dianggap berbuah manis bila mengacu pada realisasi investasi pada periode semenjak dua beleid kontroversial itu dirilis. Mengacu data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), pada 2019, realisasi investasi mencapai Rp809,6 triliun. 

Ketika pandemi Covid-19 meletus, realisasi investasi hanya tumbuh 2,06% seiring tiarapnya perekonomian di seluruh dunia. Lalu, tahun berikutnya angka tersebut mampu tumbuh 9,04%. 

Kemudian pada 2022, nilai investasi memecahkan rekor dengan pertumbuhan 34% mencapai Rp1.207,2 triliun. Untuk tahun ini, pemerintah menargetkan realisasi investasi Rp1.400 triliun di mana pada kuartal I lalu angkanya baru tercapai Rp328,9 triliun.

Realisasi investasi di Indonesia periode 2014-2023 (Div. Riset Bloomberg Technoz)

Akan tetapi, apabila menilik tren pertumbuhan investasi dan sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dalam 10 tahun terakhir Indonesia justru terlihat berjalan mundur. 

Berdasarkan data BPS, Indonesia pernah mencatat pertumbuhan PMTB yang tinggi sebesar 9,13% pada 2012 dengan sumbangan sektor investasi terhadap PDB mencapai 32,72%. Malah pada 2015, sumbangan investasi pada PDB menembus 33,19%, tertinggi sejak 2010. 

Namun, sejak 2019 trennya justru terus menurun. Laju pertumbuhan investasi pada 2019 hanya 4,45%, lalu terkontraksi hampir 5% saat pandemi pecah.

Pada 2021, investasi hanya tumbuh 3,8% lalu pada tahun berikutnya stagnan di 3,87%. Terakhir pada kuartal 1 lalu, pertumbuhannya makin kecil hanya 2,11%.

Di saat yang sama, sumbangan investasi terhadap PDB juga terus merosot secara konsisten sejak 2019. Yaitu dari sebesar 32,35% menjadi 29,08% pada 2022 dan 29,11% pada kuartal 1-2023.

Pertumbuhan investasi dan sumbangannya terhadap PDB pertumbuhan ekonomi RI (Div. Riset Bloomberg Technoz)

Untuk 2024, pemerintah mengejar pertumbuhan investasi PMTB antara 6,2%-7%.

“Ini jadi basis ke depan, apabila bisa dipertahankan [pertumbuhannya] di angka 6,8%,” kata Suharso Monarfa, Menteri PPN/Kepala Bappenas dalam paparan di depan Komisi XI DPR-RI, awal pekan ini.

Dilibas Vietnam

Ambisi menggaet investasi yang sampai menyeret turun indeks demokrasi, tidak bisa dilepaskan dari kian terpojoknya Indonesia dalam persaingan memperebutkan spillover effect perang dagang China-Amerika Serikat di Asia. Indonesia berupaya mendapatkan bagian "kue investasi" imbas ketegangan hubungan Beijing-Washington, yang sejauh ini malah lebih banyak didapatkan oleh Vietnam, negara yang baru selesai berperang pada 1975 silam.

Investasi perusahaan-perusahaan besar kelas dunia banyak mengalir ke Vietnam, yang sejauh ini dinilai lebih siap segalanya dalam menyambut kedatangan investor asing. Dalam banyak hal, Vietnam memang harus diakui mengungguli Indonesia. 

Negeri itu mencatat tingkat efisiensi lebih tinggi di antara negara-negara kawasan ASEAN. Skor Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Vietnam selama kurun 2015-2019 sudah di level 3,7, terendah di ASEAN.

Sedangkan skor ICOR Indonesia masih tinggi sebesar 6,8, lebih tinggi dibandingkan Malaysia 5,4 dan Filipina 4,1. Skor ICOR tinggi mengindikasikan negara tersebut kurang efisien untuk berinvestasi di mana semakin rendah angkanya maka semakin efisien negeri itu untuk berinvestasi.

Tingkat efisiensi investasi di Indonesia dibanding negara ASEAN dan India (Divisi Riset Bloomberg Technoz)

Bukan cuma itu. Dari sisi kemudahan berbisnis, Vietnam juga lebih unggul dibanding Indonesia. Mengacu pada indeks Ease of Doing Business (EoDB) yang dirilis oleh World Bank pada 2019, Vietnam mencatat skor 70, sedangkan Indonesia masih 73.

Indonesia bahkan kalah dari Malaysia yang nilainya 12 dan Thailand dengan skor 21. Apalagi dibandingkan Singapura yang hampir sempurna dengan nilai 2. 

Skor ICOR yang masih tinggi, juga nilai EoDB yang kalah jauh dari negeri-negeri tetangga, memperlihatkan Indonesia masih punya PR besar. Dalam konteks ini, revisi UU KPK justru menjadi ironi. Indeks Korupsi ketika KPK masih bergigi tercatat lebih baik dibanding saat KPK dilemahkan. 

Mengacu pada data Transparency International, Indonesia mencatat skor Corruption Perception Index (CPI) atau disebut juga Indeks Persepsi Korupsi (IPK), di angka 20 pada 2004 silam dengan peringkat global di 132.

Peringkat indeks persepsi korupsi (CPI) Indonesia versi Transparancy International era Jokowi dan SBY (Divisi Riset Bloomberg Technoz)

Pada akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, skor IPK semakin membaik dengan peningkatan menjadi 32, sedangkan peringkat global juga membaik ke posisi 118 pada 2013. 

Namun, selama periode 2014-2022 di masa Jokowi, IPK Indonesia stagnan bahkan cenderung memburuk. Pada 2014, IPK Indonesia masih di 34, lalu sempat membaik pada 2019 dengan capaian nilai 40 dan peringkat global 96.

Akan tetapi, pada 2022, skornya merosot lagi menjadi 34, kembali ke titik mula dengan peringkat korupsi Indonesia merosot lagi ke posisi 110 dunia.

Penurunan IPK Indonesia mengindikasikan persepsi publik terhadap korupsi di jabatan publik dan politis di tanah air memburuk pada periode tersebut. Skor indeks diukur dengan skala 0 (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih), sehingga semakin tinggi nilai persepsi korupsi sebuah negara maka semakin rendah korupsi terjadi di negeri itu.

Pengangguran dan Tingkat Upah

Lantas, bagaimana perkembangan penciptaan lapangan kerja yang diharapkan bisa terpicu dengan sokongan Omnibus Law yang kontroversial itu? Mari melihat datanya.

BPS merilis data ketenagakerjaan setiap Februari dan Agustus. Pada Agustus 2019, ketika Omnibus Law belum dirilis, tingkat pengangguran di Indonesia adalah sebesar 5,23% atau setara 7,10 juta orang.

Rapor ekonomi Jokowi vs SBY -angka pengangguran tahunan (Divisi Riset Bloomberg Technoz)

Angkanya justru terus meningkat selama 2020-2023, di mana sempat mencapai 9,1 juta orang pada 2021 walau kini sudah melandai lagi menjadi 7,98 juta orang pada Februari 2023. Jumlah pengangguran itu malah lebih buruk dibandingkan Februari 2019 sebesar 6,89 juta, terendah setidaknya sejak 2011.

Upah pekerja juga tidak bergerak. Pada 2019, rata-rata upah pekerja dari 17 sektor usaha di Indonesia adalah Rp2,91 juta per bulan. Pada 2023, angkanya masih stagnan di Rp2,94 juta. 

Pertumbuhan upah pekerja dan buruh di Indonesia (Div. Riset Bloomberg Technoz)

Kemiskinan Bergeming

Secara teori, ketika investasi banyak mengalir masuk, maka diharapkan lapangan kerja akan banyak tersedia sehingga upah pekerja juga bisa meningkat dan angka kemiskinan juga bisa ditekan. Di Indonesia, pada 2019 lalu, persentase kemiskinan mencapai 9,22%. Setelahnya, pada 2022, angkanya malah tambah buruk di posisi 9,57%.

Jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 26,36 juta orang per September 2022. Angka ini naik naik sebesar 0,2 juta orang dari periode sebelumnya.

Bahkan, angka kemiskinan Indonesia sangat mungkin jauh lebih besar apabila memakai ukuran tingkat kemiskinan global yang saat ini berlaku, utamanya bila bicara tentang kemiskinan ekstrem.

Sebagaimana diketahui, sejauh ini pemerintah memakai basis perhitungan kemiskinan ekstrem dengan garis kemiskinan sebesar US$ 1,9 purchasing power parity (PPP) per hari. Angka itu setara Rp28.262 dengan asumsi kurs JISDOR Bank Indonesia per 7 Juni sebesar Rp14.875/US$. 

Angka kemiskinan dan ketimpangan 2014-2022 (Divisi Riset Bloomberg Technoz)

Sedangkan menurut standar global, ukuran kemiskinan ekstrem adalah US$ 2,15 PPP per hari atau Rp31.981. Pemerintah sendiri mengakui bila ukuran mengacu pada standar global, angka kemiskinan ekstrem bisa melonjak hingga 2 juta.

"Begitu angkanya naik ke US$ 2,15, maka kemiskinan ekstrem naik jadi 6,7 juta," kata Suharso. 

Perlambatan Ekonomi 2023

Sejauh ini bila mengacu pada data-data termutakhir, sulit disebut bila kemunculan dua beleid yang sampai menurunkan indeks demokrasi itu sepadan dengan hasilnya.

Baca juga: Target Pertumbuhan Ekonomi Jokowi Tahun Ini Bisa Gagal

Sampai Mei 2023, Indonesia nyatanya tidak mampu menghindar dari tekanan perlambatan ekonomi. Gejala perlambatan ekonomi semakin kentara dan mengancam capaian pertumbuhan ekonomi tahun ini, tahun terakhir Jokowi menjabat secara penuh. 

Tahun 2024 akan menjadi pertaruhan terbesar, apakah dua hal itu sepadan dengan segala yang telah dikorbankan.

(rui/aji)

No more pages