OECD menyatakan, situasi seperti itu memberi tekanan lebih besar bagi bank sentral yang harus menentukan kebijakan paling tepat menyusul tekanan inflasi inti yang masih kuat, di satu sisi berupaya tidak menciderai pertumbuhan ekonomi.
"Bank sentral harus tetap waspada dan menimbang kedua sisi risikonya," ujar Clare Lombardelli, Chief Economist OECD, dalam konferensi pers seperti dilansir dari Bloomberg News, Rabu (7/6/2023).
Menurut OECD, sudah pasti bank sentral sebaiknya tidak terlalu memperketat ekonomi sampai pada titik di mana itu akan berdampak lebih besar pada pertumbuhan ketimbang yang dibutuhkan. Itu akan menjadi keseimbangan yang sulit bagi bank sentral.
"Akan tetapi, kami hari ini menyatakan bahwa mereka perlu mempertahankan kebijakan moneter yang ketat sampai ada bukti bahwa inflasi kembali ke target secara langgeng, termasuk inflasi inti dan inflasi IHK," jelas Lombardelli.
Lembaga internasional ini melihat kenaikan bunga acuan yang sudah dilakukan akan berimbas pada sektor properti dan pasar keuangan. Namun, kemungkinan dampak sepenuhnya akan terlihat pada akhir tahun dan pada 2024.
"Ketidakpastian yang signifikan tentang prospek ekonomi masih ada, di mana risiko utama terhadap proyeksi berada di area downside," jelasnya.
Lebih jauh, menurut OECD, bank sentral perlu melanjutkan kebijakan yang restriktif bahkan mungkin melanjutkan kenaikan bunga acuan sampai sinyal lebih jelas bahwa inflasi sudah dijinakkan muncul secara konsisten. Untuk membantu bank sentral membatasi dampak tekanan kebijakan bunga acuan, pemerintah negara harus memberikan dukungan fiskal pada rumah tangga di mana penargetan juga perlu menyasar kelompok rentan.
Bank Dunia Lebih Pesimistis
Sebelumnya, Bank Dunia juga merilis proyeksi terbaru perekonomian global pada Selasa waktu Washington. Bank Dunia menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini sementara prakiraan untuk 2024 diturunkan. Kenaikan tajam bunga acuan di seluruh dunia telah memukul laju perekononomian global, terutama memicu kerentanan pada negara-negara dengan pendapatan rendah.
Dalam publikasi World Bank Global Economic Prospect yang dirilis 6 Juni, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan bergerak di capaian 2,1%, melambat dari capaian 2022 sebesar 3,1%. Sedangkan pada 2024, perekonomian global berpeluang menaikkan capaian pertumbuhan di 2,4%.
Proyeksi terbaru Bank Dunia itu lebih optimistis, terutama untuk 2023. Dalam proyeksi sebelumnya yang dirilis Januari lalu, insitusi yang berkantor pusat di Washington DC (Amerika Serikat/AS) itu emperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia hanya 1,7%. Akan tetapi, untuk perkiraan pertumbuhan ekonomi 2024, World Bank lebih pesimistis dengan memangkas proyeksi dari 2,7% menjadi 2,4%.
Bank Dunia menaikkan perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun ini. Dalam publikasi terbaru World Bank Global Economic Prospect, lembaga internasional itu memproyeksikan Indonesia akan mencetak pertumbuhan ekonomi sebesar 4,9% tahun ini, lebih optimistis dibandingkan proyeksi terakhir pada Januari lalu sebesar 4,8%.
Kenaikan tipis proyeksi Bank Dunia untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sedikit optimisme terhadap laju Produk Domestik Bruto (PDB) global dan kawasan Asia Pasifik tahun ini. Bank Dunia mengerek proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini dari 1,7% menjadi 2,1%. Sedangkan untuk kawasan Asia Pasifik, proyeksi Bank Dunia juga naik dari 4,3% ke 5,5%.
Indonesia mencatat kerja penanggulangan inflasi yang cukup baik di mana bank sentral juga telah berhenti menaikkan bunga. Bank Indonesia sejauh ini telah mempertahankan bunga acuan BI7DRR di level 5,75% sejak Februari lalu.
Inflasi di RI termoderasi, menurut Bank Dunia, banyak disokong oleh telah kembali landainya harga komoditas global. "Tapi harga komoditas yang menurun itu juga melemahkan kinerja perdagangan Indonesia sebagai eksportir komoditas," kata World Bank.
Untuk 2024, Bank Dunia memperkirakan Indonesia akan mencetak pertumbuhan 4,9%, tidak berubah dari proyeksi sebelumnya yang dirilis Januari lalu.
(rui)