Bloomberg Technoz, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa Indonesia masih menghadapi tantangan perlakuan diskriminatif secara unilateral atau sepihak yang dilakukan negara-negara mitra dagang khususnya yang berasal dari Uni Eropa.
Hal ini terkait Uni Eropa yang memberlakukan UU Anti-Deforestasi atau European Union Deforestastion Free Product (UEDR) sejak Mei 2023. Dengan adanya aturan tersebut, UE akan menutup ekspor bagi produk pertanian, perkebunan termasuk kopi.
“Dalam kunjungan Uni Eropa kita melihat komoditas kelapa sawit kopi, kakao, rubber dan timber dikenakan diskriminasi melalui UU Deforestasi dan free regulation dan selanjutnya ada pemberlakuan carbon border adjustment mechanism akan dilakukan tahun 2026,” kata Airlangga dalam acara Green Economic Forum hari kedua, Rabu (7/6/2023).
Menurutnya, industri besi dan baja akan menjadi subjek dari carbon border adjustment mechanism yang mana dalam negara-negara yang memproduksi besi dan baja bisa dikenakan pajak lingkungan unilateral oleh negara-negara Eropa. UE akan menekankan bahwa di negara-negara tersebut perusahan-perusahaan yang dimaksud belum membayar pajak karbon.

“Tentu kebijakan-kebijakan tersebut akan mengganggu upaya Indonesia yang terkait dengan mitigasi perubahan iklim dan Indonesia seperti negara-negara lain juga terikat dalam Paris Agreement dan UN 2030 SDGs Agenda,” katanya.
Sebagai informasi, pemerintah Indonesia menyatakan terus mendorong kebijiakan konservasi hutan dan level deforestasi di Indonesia, yang mana pada tahun 2019-2020 deforestasi turun 75%. Indonesia juga mengurangi dampak kebakaran hutan 91,84%.
Airlangga menuturkan, sementara itu tantangan jangka pendek bagi Indonesia salah satunya adalah EUDR dengan jangka sangat pendek akan berlaku sejak Juni dan 18 bulan sejak diundangkan dan periode itu adalah pada Desember 2024.
“Impact ekonomi kita secara langsung ekspor di sektor kehutanan kita Rp90 triliun. Kita meminta EU juga mengambil hal-hal yang sifatnya sudah ada diadopsi bukan membuat standar-standar baru yang tidak sempat diadopsi dan tidak berdasarkan best practice dan diberlakukan tanpa sosialisasi yang cukup,” tutupnya.
(krz/ezr)