Di kancah global, China saat ini mendominasi pasokan dan pengolahan banyak jenis komoditas. Hal ini cukup membuat cemas banyak negara.
Kecemasan tersebut terutama ada di Jerman, yang sangat bergantung pada impor bahan bakar fosil Rusia dalam beberapa dekade terakhir. Sejak invasi Vladimir Putin ke Ukraina, pemerintah Scholz menggencarkan diversifikasi pemasok agar ekonomi tetap berjalan.
Jerman dan Argentina pun telah menandatangani MoU pada Sabtu (28/01/2023) di Buenos Aires, yang bertujuan mengamankan akses Jerman ke sumber lithium yang kaya di negara tersebut.
Sehari setelahnya, Scholz menyebut China sebagai pesaing Jerman di pasar komoditas global.
“Ada negara yang menganggap semua bahan mentah berasal dari China, tapi itu tidak benar. Banyak bahan baku yang justru datang misalnya dari Argentina atau Chili, dikirim ke China, diproses di sana lalu dijual lagi,” kata Scholz.
“Pertanyaannya adalah: Bisakah mereka tidak memindahkan pemrosesan bahan-bahan ini, yang menciptakan ribuan pekerjaan di negara-negara asal bahan-bahan ini?”
Sementara itu, Presiden Chili Gabriel Boric mengatakan bahwa ia bertekad untuk mengatur ulang industri litium di negaranya. “Kami ingin membuat perusahaan litium nasional melalui berbagai mekanisme perjanjian,” kata Boric.
“Chili memiliki hak dan kewajiban untuk berpartisipasi dalam industri ini,” lanjutnya.
Saat ini, ada dua perusahaan yang memproduksi litium di Chili, yaitu Albemarle Corp. yang berbasis di AS dan perusahaan lokal SQM, di mana Tianqi Lithium Corp. dari China memiliki lebih dari 20% saham. Mereka utamanya membuat lithium karbonat dan lebih dari 90% di antaranya masuk ke Asia, seperti China dan Korea.
Baik SQM dan Albemarle saat ini telah memiliki aset pemrosesan di China.
Meski Chili dan Australia menyumbang sebagian besar pasokan tambang lithium dunia, China memiliki lebih dari setengah kapasitas untuk mengolahnya menjadi bahan kimia khusus baterai.
Melihat fakta tersebut, muncul kekhawatiran atas dominasi negara Asia dalam penyulingan dan kapasitas manufaktur. Ketergantungan pada China ini dipandang rentan di tengah ketegangan perdagangan dan politik.
Presiden European Commission Ursula von der Leyen memprediksi pada tahun lalu bahwa komoditas seperti lithium dan logam tanah jarang akan lebih penting daripada minyak dan gas.
Dia mengutip perkiraan permintaan di Uni Eropa saja untuk tanah jarang - yang digunakan dalam segala hal mulai dari motor listrik hingga turbin angin dan alat elektronik portabel - akan meningkat lima kali lipat pada tahun 2030.
(bbn)