Bloomberg Technoz, Jakarta - Publik masih menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sistem yang akan berlaku untuk pemilihan legislatif tahun ini, tetap dengan sistem proporsional terbuka atau akan berubah menjadi sistem proporsional tertutup sebagaimana sebelum Pemilu 2009. Gonjang-ganjing putusan MK diduga akan mengembalikan sistem yang dicap banyak pihak tak demokratis ini mengemuka dengan pernyataan pengamat Hukum Tata Negara Denny Indrayana. Denny menyebutkan lewat akun media sosial meski ada dissenting opinion namun mayoritas hakim MK akan setuju kembali ke sistem proporsional tertutup tersebut. Informasi ini diklaim didapatkan dari sumber terpercaya.
Pekan lalu Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan MK akan memutuskan soal hal tersebut dalam seminggu. Sementara Ketua MK Anwar Usman yang merupakan adik ipar Presiden Joko Widodo itu usai upacara Hari Lahirnya Pancasila pada Kamis (1/6/2023) mengatakan, pihaknya akan segera mengumumkan putusan.
Pada sistem proporsional tertutup yang menentukan lolos tidaknya calon adalah urutan nama yang diajukan oleh partai politik. Oleh karena itu biasanya logo parpol yang bakal dicoblos. Sementara pada sistem proporsional terbuka yang lolos adalah yang mendapatkan suara terbanyak sehingga urutan nama tak menentukan. Dalam sistem ini nama calon legislatif beserta fotonya yang harus dicoblos.
Permohonan uji materi terhadap UU Pemilu yakni UU Nomor 7 Nomor 2017 mulai disidangkan pada 23 November 2022. Dua kader parpol dan empat perseorangan menjadi pemohon dan atas nama Sururudin selaku kuasa hukum pemohon. Hal ini yang membuat MK sejak 2022 tersebut menguji sistem pileg tersebut. Sementara partai politik yang menjadi fraksi di DPR yang mendukung sistem proporsional tertutup hanya PDI Perjuangan. Adapun 8 fraksi lainnya yakni Fraksi Partai Golkar, Partai Gerindra, PKS, Demokrat, PKB, PPP, NasDem dan PAN menolak dan menginginkan tetap dalam sistem proporsional terbuka.
Bila merunut ke belakang, penerapan sistem proporsional terbuka sebenarnya buah dari putusan MK pula pada masa lalu yakni putusan MK tanggal 23 Desember 2008.
Maka MK kemungkinan besar tidak akan memutar haluan dan berbalik secara berbeda dengan putusan MK tahun 2008
mantan Hakim MK Maruarar Siahaan
Mantan Hakim MK Maruarar Siahan menjelaskan hal tersebut. Dia mengatakan, memang benar bahwa sistem dalam pileg ini adalah hasil putusan MK meskipun bentuknya adalah open legal policy artinya menjadi wewenang pembuat undang undang dalam hal ini DPR bersama pemerintah. Namun UU tidak boleh bertentangan dengan UUD sehingga MK bisa mengujinya.
"Namun harus diingat bahwa sistem proporsional terbuka yang dianut dalam Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu adalah hasil putusan MK tahun 2008, yang menguji pemilu dalam UU Pemilu sebelumnya kepada demokrasi, luber dan jurdil," kata Maruarar saat dihubungi pada Selasa (6/6/2023).

Dia mengatakan, putusan yang berimplikasi pada proporsional terbuka itu disebabkan pertimbangan bahwa sekalipun partai politik telah menentukan nomor urut bagi calon legislatif (caleg) namun MK menilai bahwa memperoleh suara secara langsung dari rakyat lebih demokratis. Oleh karena itu calon yang memperoleh suara lebih banyak meskipun nomor urut belakang maka dialah yang mendapatkan kursi.
Dengan kondisi ini kata dia, seharusnya MK kemungkinan besar akan konsisten dengan hal itu.
"Maka MK kemungkinan besar tidak akan memutar haluan dan berbalik secara berbeda dengan putusan MK tahun 2008 yang menghasilkan proporsional terbuka tersebut. Namun kalau ada alasan konstitusional yang berbeda atau ada perubahan interpretasi konstitusi yang terjadi karena perubahan perkembangan ketatanegaraan yang mendasar dan fundamental, kemungkinan tersebut terbuka," lanjut dia.
Sementara soal potensi upaya veto sebagai bentuk penolakan apabila keluar putusan proporsional tertutup, kata Maruarar, tak dikenal.
Diketahui sebelumnya muncul suara penolakan termasuk dari politikus meminta agar mengabaikan putusan MK jika sistem proporsional tertutup dikembalikan. Politikus PKB dan Anggota DPR Luqman Hakim dikutip media menilai bahwa putusan MK soal hal itu bisa diabaikan karena MK tak berwenang memutuskannya.
"Karena putusan dibuat di luar kewenangan yang dimiliki maka keputusan MK tersebut tak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan karenanya wajib diabaikan. DPR, Presiden, KPU, Bawaslu, DKPP dan semua pihak tidak boleh mengikuti putusan yang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," kata Luqman lewat siaran pers.
Sementara Maruarar menilai, putusan MK akan mengikat bagi semua pihak. Meskipun menurutnya, apabila DPR secara mayoritas tidak setuju dengan putusan MK tersebut maka yang dilakukan bisa dengan mengurangi kewenangan MK bahkan hingga pembubaran.
"MK Thailand pernah dibubarkan sebagai rekasi atas sikap MK dalam putusan yang tidak disetujui DPR atau pemerintah," katanya.
Dihubungi terpisah, pakar pemilu yang juga Komisioner KPU 2012-2017 Hadar Nafis Gumay mengatakan bahwa dalam putusannya pada 2008, MK sebenarnya tidak mengubah sistem. Oleh karena itu saat ini pun MK seharusnya tak mengubah sistem juga. Artinya jangan sampai mengeluarkan putusan dengan spesifik terbuka atau tertutup.
"Jadi UU-nya sebetulnya sudah bilang sistem proporsional dengan daftar calon terbuka tapi di pasal (tertentu itu) yang ngakal-ngakali menutupnya. Nah sehingga dikoreksi (MK) sehingga betul-betul itu diatur di UU itu jadi proporsional terbuka. Jadi keliru kalau dianggap MK pernah mengubah sistem. Ini sebagai satu catatan background mengenai isu ini," kata Hadar yang juga Direktur Eksekutif NETGRIT tersebut lewat sambungan telepon.
Oleh karena itu agar tak berbeda dengan masa lalu, menurutnya MK sekarang tak perlu mengubah sistem. Hal tersebut bukan wewenang MK. Hadar memberikan penekanan soal konsep open legal policy tersebut yang menentukan rincinya adalah pembuat UU. Oleh karena itu berkaca pada hal ini maka MK tak perlu jauh mengatur tertutup dan terbuka. Baik sistem terbuka maupun tertutup tersebut sesuai saja dengan konstitusi, yang perlu disoroti adalah yang paling demokratis.
"Jadi seharusnya MK tidak menentukan bahwa ini yang sesuai konstitusi atau yang itu karena dua-duanya sesuai dengan konstitusi. Yang sering jadi masalah adalah praktik pelaksanaannya. Menurut saya MK tidak usah menentukan ini karena ini adalah keputusan yang memang harusnya diambil oleh parlemen kita bersama pemerintah, Di dalam konstitusi itu sendiri dibilang pembuat undang-undang itu adalah DPR bersama atau dengan persetujuan pemerintah," lanjut dia.
Dia mengatakan, apabila MK memutuskan sistem proporsional tertutup maka akan menimbulkan banyak masalah apalagi tahapan pemilu sudah berjalan. Sebagai contoh, akan banyak hal yang harus diubah dalam waktu yang amat sangat terbatas. Hal ini juga berpotensi berbuntut banyak sengketa.
Selain itu elemen pencalonan akan berubah yakni partai politik harus mengubah kembali daftar urutannya karena urutan menjadi penentu. Padahal jika proporsional terbuka, nomor urut tak lagi masalah lantaran pemilik suara terbanyak yang dituai secara langsung yang akan melenggang ke legislatif.
(ezr)