Merespons hal tersebut, Zulkifli berdalih bahwa dasar hukum untuk mencairkan utang rafaksi minyak goreng tidak jelas. Penyebabnya, peraturan menteri perdagangan (permendag) yang meregulasi kebijakan minyak goreng terus berubah-ubah.
“Ini memang ada kesulitan karena permendag yang berubah-ubah. Kami mau bayar landasannya enggak ada. Makanya, kami minta Kejagung kasih fatwa hukum yang pasti. Jaksa bilang, ‘Itu bukan kewenangan kami, tetapi bayar saja atas peraturan perundang-undangan yang berlaku.’ Kami mau saja bayar, tetapi itu gimana nanti?” dalihnya.
Sebagai catatan, peraturan yang dimaksud oleh Zulkifli adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 3/2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh BPDPKS. Beleid tersebut sudah tidak berlaku setelah diterbitkannya Permendag No.6/2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit.
Permendag No. 3/2022 menjadi acuan Kemendag untuk menjalankan kebijakan minyak goreng satu harga yang dijalankan pada 19—31 Januari 2023. Kala itu, secara sepihak otoritas perdagangan memerintahkan pelaku usaha untuk menjual minyak goreng dengan harga Rp14.000/liter.
Sementara itu, terkait dengan nominal utang yang harus dibayarkan, Zulkifli menyebut ada perbedaan antara klaim dari pelaku usaha dengan hasil verifikasi PT Superintending Company Indonesia (Sucofindo) selalu verifikator independen yang ditunjuk oleh Kemendag.
Sebanyak 54 mengajukan klaim selisih harga ke BPDPKS dengan nilai mencapai Rp812 miliar. Namun, berdasarkan hasil verifikasi Sucofindo, hanya 58% dari nominal tersebut atau Rp474 miliar yang dapat dibayarkan berdasarkan ketentuan.
(rez/wdh)