"Walaupun tujuannya baik untuk meningkatkan ekonomi agar konsisten dengan penurunan emisi, ini harus hati-hati karena sebuah perubahan pasti menimbulkan shock," ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani melanjutkan untuk meminimalisasi dampak negatif dari pajak perdagangan karbon, pemerintah menerapkan kebijakan ini secara bertahap, yakni dimulai dari sektor energi melalui penerbitan Peraturan Menteri ESDM No 16 Tahun 2022.
"Strategi kita bagaimana memperkenalkan perubahan itu dengan konsekuensi sosial, ekonomi, dan finansial seminimal mungkin," imbuhnya.
Pemerintah telah menetapkan 99 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berpotensi ikut emission trading system (ETS) pada tahun 2023, dengan total kapasitas 33.565 MW atau 86 % dari total PLTU di Indonesia.
"Ini kemajuan, berarti para PLTU ini paham mereka menghasilkan energi yang dibutuhkan masyarakat tapi juga mengeluarkan emisi CO2 yang memperburuk perubahan iklim," tutur Sri Mulyani.
Adapun perdagangan karbon di sektor energi masih dilakukan secara tertutup antar PLTU melalui perangkat berbasis web untuk penghitungan dan pelaporan emisi milik Kementerian ESDM, Apple Gatrik. Sementara bursa karbon masih dalam pengembangan hingga saat ini.
(krz/evs)