Di sisi lain, meski negara-negara Eropa mendiskriminasi produk agrikultura, Zulkifli menyebut mereka masih memacu impor produk bernilai tinggi dari Indonesia. Dia mencontohkan Inggris dan Prancis yang belum lama ini tertarik untuk membeli peralatan tempur dari RI.
Menurut Zulkifli, sikap tersebut sangat paradoks. “Satu pesawat tempur saja harganya miliaran dolar. Nah kan, pesawat itu apa tidak merusak lingkungan? Bahan bakunya apa sih? Pasti dari tambang. Minyaknya dari avtur. Belum polusinya.”
Atas dasar itu, dia menilai kebutuhan Indonesia terhadap pasar-pasar ekspor baru kian mendesak. Selain akibat diskriminasi akses di pasar Barat, mitra-mitra dagang tradisional tengah mengalami perlambatan ekonomi yang berujung pada turunnya permintaan.
Selain mengejar CEPA dengan Cile, Zulkifli mengatakan pemerintah memaksimalkan kerja sama bilateral dengan negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA).
“Lalu juga ke Mesir. Sebentar lagi kami akan ke [negara-negara] Afrika lainnya. Saya juga beberapa kali ke India. Rencana dalam waktu dekat ke Pakistan dan Bangladesh. Jai memang kita harus mengembangkan pasar-pasar baru,” urainya.
Salah satu kendala mengembangkan ekspor ke pasar nontradisional, kata Zulkifli, adalah minimnya kesepakatan bilateral yang membebaskan akses produk Indonesia dari hambatan tarif.
“Di Afrika itu kita kena pajak 27%. Di Amerika Latin bisa 20%. Itu lah gunanya CEPA dan PTA [preferential trade agreement]; supaya pungutan-pungutan itu tidak besar. Kalau pungutannya besar, kita akan kalah dengan China, Vietnam, Filipina, dan Thailand. Ini yang segera kami selesaikan,” tegasnya.
Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko sebelumnya mengatakan pemerintah terus berupaya menjelaskan duduk perkara yang memberatkan posisi Indonesia dalam UU Deforestasi Eropa. Salah satunya adalah dengan meyakinkan bahwa RI berupaya meningkatkan bauran minyak sawit dalam bahan bakar ramah lingkungan, seperti B20.
“Sebenarnya persoalan sawit Eropa bukan di sini. Saya sudah banyak berbicara dengan perwakilan dari Uni Eropa dan saya sering berbicara tentang sawit pada mereka. Isunya bukan deforestasi, tetapi bagaimana B20 itu dilihat oleh UE itu,” tuturnya di acara Green Economic Forum, Senin (22/5/2023).
Dalam pertemuan bilateral dengan Presiden Komisi Uni EropaUrsula von der Leyen di sela ajang G7 di Hiroshima, Jepang pekan lalu, Presiden Joko Widodo juga bahwa sejak awal pembahasan UU Deforestasi, Indonesia keberatan atas regulasi tersebut. Menurutnya, regulasi tersebut dapat menghambat perdagangan dan merugikan petani kecil di Indonesia.
“Proses benchmarking dengan cutoff date mulai 2020 harus betul-betul terbuka dan objektif. Sebagai informasi, laju deforestasi Indonesia 2019—2020 telah turun 75% menjadi 115.00 hektare. Ini laju terendah sejak 1990 dan terus mengalami penurunan,” ucapnya.
Presiden menyampaikan Indonesia dan Malaysia akan melakukan misi bersama ke Brussels untuk menyampaikan kembali keberatan terhadap berbagai regulasi UE yang merugikan dan menyampaikan data-data konkret yang diharapkan dapat menjadi masukan bagi UE dan dapat dijadikan bahan pembuatan kebijakan yang objektif.
(wdh)