“Korea Utara akan mengambil kesempatan untuk mengeluarkan stok lama dengan harga tinggi,” sebut pakar persenjataan Joost Oliemans, sebagaimana diwartakan Bloomberg News. Oliemans adalah salah satu penulis buku The Armed Forces of North Korea.
AS tidak merinci data soal berapa banyak kepemilikan senjata Korea Utara dan berapa banyak yang dikirim ke Ukraina. Namun Washington menyebut tudingan itu muncul ketika Kremlin mengutarakan niat untuk membeli jutaan roket dan artileri.
Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby pekan lalu mengatakan ada bukti bahwa Wagner Group, organisasi paramiliter yang terlibat dalam pertempuran di Kota Bakhmut (Ukraina), menerima senjata dari Korea Utara. Kirby menunjukkan dua foto kereta Rusia yang menuju ke Korea Utara.
“Kami jelas mengutuk tindakan Korea Utara dan mendesak mereka untuk menghentikan mengirim senjata ke Wagner segera,” tegas Kirby.
Oliemans berpendapat, beberapa produk senjata Korea Utara yang mungkin diminati Rusia adalah peluru artileri 122 mm dan 152 mm. Juga roket 122 mm.
Harga roket 122 mm adalah sekitar US$ 6.000 (Rp 89.868.000) beberapa tahun lalu. Jadi, satu kesepakatan besar bisa bernilai ratusan juta dolar AS, kata Oliemans.
“Masuk akal kalau Rusia membeli dalam jumlah kecil terlebih dulu untuk kemudian menguji kualitas barang sebelum berkomitmen membeli dalam partai besar,” tutur Oliemans.
Tidak butuh uang banyak. Hanya kurang dari US$ 320 juta (Rp 4,79 triliun) sudah bisa menambah Produk Domestik Bruto (PDB) Korea Utara sebanyak 1%.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS menolak berkomentar soal potensi ekonomi Korea Utara dari berdagang senjata dengan Rusia. Namun AS tetap khawatir bahwa Pyongyang akan mengirim lebih banyak senjata ke Wagner Group.
Dulu, Korea Utara bergantung kepada pasokan senjata dari Uni Soviet. Kini Korea Utara memang dilarang berjualan senjata berdasarkan Resolusi Persatuan Bangsa-bangsa (PBB). Namun negara itu tetap menjual kepada Iran, Suriah, dan Uganda, berdasarkan pantauan Badan Intelijen AS (CIA).
“Ada insentif ekonomi dan politik bagi Korea Utara saat menyediakan persenjataan kepada Rusia,” kata Naoko Aoki, Associate Political Scientist di Rand Corp yang berbasis di Washington. Bayaran uang tentu yang paling jelas, tetapi ada kompensasi lain seperti bahan bakar, kata Aoki.
Dalam beberapa bulan terakhir, Rusia menggunakan hak veto di PBB untuk memblok sanksi terhadap korea Utara karena melakukan uji misil balistik. Korea Utara adalah satu dari sedikit yang mengakui kedaulatan Republik Rakyat Donestk dan Republik Rakyat Luhansk di timur Ukraina.
Kim Yo Jong, saudari Kim Jung Un, pekan lalu kembali menegaskan dukungan negaranya terhadap Rusia. “Kami selalu berdiri di tempat yang sama dengan Rusia, yang sedang berjuang untuk menegakkan harkat dan martabat negara serta kedaulatan dan keamanan negara,” tegasnya, seperti dilansir Korea Central News Agency (KCNA).
Rusia dan Korea Utara pun sepertinya telah melanjutkan proyek jalur kereta api yang menghubungkan kedua negara, berdasarkan data citra satelit yang diterbitkan situs 38 North. Dengan jalur ini, pengiriman senjata dari Korea Utara bisa melalui bentangan Eurasia dan mencapai Ukraina tanpa hambatan.
Selain uang, Korea Utara juga mengharapkan pengampunan utang dan potensi transfer teknologi dari Rusia, menurut Senior Vice President Center for Strategic & International Studies Victor Cha. Banyak desain misil balistik Korea Utara diyakini menggunakan dasar yang sama dengan buatan Rusia, seperti roket Iskander yang rutin menghantam sasaran di Ukraina.
“Korea Utara menggunakan kesempatan untuk mendekat dengan Rusia. Mereka memanfaatkan kebutuhan Rusia akan senjata,” kata Cha, yang juga mantan utusan khusus AS untuk pembicaraan nuklir dengan Korea Utara.
(bbn)