“Sejauh ini, kalau berdasarkan pada aturan perundangan-undangan Vale sudah mendivestasikan sahamnya 40%. [Sebanyak] 20% ke MIND ID dan 20% sisanya ditawarkan ke publik,” ujar Arifin.
Arifin menjelaskan MIND ID menyelesaikan transaksi pembelian 20% saham divestasi Vale pada Oktober 2020. Holding MIND ID beranggotakan PT Aneka Tambang Tbk. atau Antam, PT Bukit Asam Tbk., PT Freeport Indonesia, PT Inalum (Persero), dan PT Timah Tbk.
Transaksi tersebut merupakan bagian dari kewajiban divestasi 51% Vale Indonesia sebagai syarat peralihan status kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Izin operasi Vale Indonesia melalui KK yang terakhir diperbarui pada Januari 1996 akan berakhir pada 28 Desember 2025.
“Nah kenapa ini ada 20% saham publik? Karena waktu itu sudah ditawarkan tetapi tidak ada yang menyerap. Akhirnya ditawarkan ke publik karena MIND ID juga tak mau waktu itu, hanya menyerap 20% dari yang divestasikan,” tuturnya.
Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Bambang Haryadi menyebut divestasi saham sebesar 11% tidak membuat negara punya kuasa terhadap Vale Indonesia.
Sebab, saham publik perusahaan yang sudah beroperasi sejak 1968 di Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan itu dikuasai oleh asing. Dengan demikian, divestasi saham sebesar 11% tidak memenuhi syarat yang tertuang dalam UU No. 3/2020.
“Informasi yang kami dapat, 20% dari saham publik Vale Indonesia itu ya dia-dia juga. Perusahaan cangkang untuk mengelabui kita di republik ini,” katanya.
Bambang menyebut pemegang saham mayoritas saham publik Vale Indonesia adalah pengelola dana pensiun Sumitomo Metal Mining. Tentu saja, hal tersebut membuat posisi negara yang diwakilkan oleh MIND ID jauh dari kata kuat.
“Kami tidak akan sepakat dengan divestasi saham Vale Indonesia [sebesar] 11%. Kalau seperti itu kasihan dong Presiden Jokowi [Jokowi] dibohongi, pura-pura 51% dikuasai negara. Padahal mereka itu kuasai nikel, sumber daya alam yang penting saat ini,” ujarnya.
(rez/wdh)