Selain akibat turunnya permintaan dari pasar domestik dan internasional, Shinta menyebut lesunya kinerja manufaktur terjadi akibat kurangnya stimulus iklim usaha yang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas serta efisiensi beban produksi manufaktur.
Hal tersebut tecermin dari masih sulitnya industriawan dalam mengimpor bahan baku/penolong akibat suku bunga pinjaman riil yang tinggi serta minimnya reformasi struktural baru yang berfungsi untuk menciptakan tingkat efisiensi beban/biaya usaha yang lebih tinggi di sektor manufaktur.
“Padahal, kondisi pasar yg ber-demand lemah menuntut pelaku usaha untuk makin efisien dan menciptakan produk-produk yg makin affordable [terjangkau] di pasar. Jadi saya rasa hal-hal ini juga perlu diperhatikan dan dibenahi dalam jangka pendek, di samping bentuk stimulus atau bantuan lain seperti percepatan realisasi APBN, perluasan kredit usaha yang affordable, fasilitasi untuk diversifikasi produk dan psar tujuan ekspor, serta lainnya,” terangnya.
Jingyi Pan, Economics Associate Director S&P Global Market Intelligence, dalam laporannya mengatakan pertumbuhan sektor manufaktur Indonesia melambat pada pertengahan menuju triwulan kedua. Perkembangan utama pada survei terbaru adalah penurunan permintaan baru karena kondisi ekonomi domestik dan global yang lebih lemah mempengaruhi permintaan baru.
Menurutnya, sangat penting bagi pelaku industri untuk memonitor seberapa tangguh penurunan permintaan terkini karena hal ini akan memengaruhi perkiraan pertumbuhan jangka pendek.
Akan tetapi, papar Pan, kondisi permintaan yang lebih lemah menyebabkan tekanan harga bagi produsen Indonesia makin berkurang, yang artinya inflasi harga jual yang lebih lunak di sektor produksi barang, sehingga mencerminkan upaya Bank Indonesia dalam menurunkan tekanan inflasi melalui pengetatan kebijakan moneter.
“Namun demikian, sangat mengkhawatirkan melihat bahwa sentimen bisnis tetap suram, dengan tingkat kepercayaan makin turun di bawah rata-rata pada Mei, mencerminkan kekhawatiran yang masih ada terhadap perkiraan pada tahun yang akan datang,” tulisnya seperti dilansir S&P, Senin (5/6/2023).
(wdh)