Aksi tersebut sebagai bentuk penyampaian tuntutan untuk menghentikan pembahasan Rancangan Undang-undang Kesehatan Omnibus Law. Aksi ini juga merupakan kelanjutan dari upaya para dokter dan perawat, setelah unjuk rasa yang sama digelar di Jakarta Pusat, Senin (8/5/2023) lalu. Tuntutan yang dibawa para pendemo masih sama yakni menolak RUU Kesehatan Omnibus Law.
Anggota Komisi IX DPR RI Aliyah Mustika Ilham di tempat terpisah mengatakan, perlu adanya pembahasan lebih lanjut perihak rancangan aturan ini. Terlebih masukan dari organisasi profesi perlu dipertimbangkan. Menurut dia RUU Kesehatan belum final. Aliyah dari Fraksi Demokrat menyatakan akan akan mengumpulkan semua masukan masukan tersebut.
"Kami akan memperjuangkan di pembentukan panja RUU tersebut.Nanti kami akan mencoba mencari celahnya sampai di mana (aspirasi) mereka bisa kami selipkan (masukan dari) organisasi tersebut," kata dia.
Pihaknya mengaku telah melakukan serangkaian pertemuan untuk menyerap tuntutan. Saat ini posisinya sudah terakomodasi di collegium dan konsil. Ia juga menyerankan agar kepada seluruh pihak terkait untuk mengawal proses, khususnya soal pemerataan dokter spesialis di daerah terpencil.
Pasal Kontroversial dalam RUU Kesehatan
Melansir situs resmi IDI, terdapat sejumlah pasal kontroversial dalam draf RUU Kesehatan, di antaranya adalah;
Pasal 314 ayat (2)
Isu pertama terkait marginalisasi organisasi profesi dianggap akan mengamputasi peran organisasi profesi. Dalam pasal disebutkan bahwa setiap jenis tenaga kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi.
“Setiap kelompok Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk 1 (satu) Organisasi Profesi.”
Namun dalam Pasal 193, terdapat 10 jenis tenaga kesehatan, yang kemudian terbagi lagi atas beberapa kelompok. Dengan demikian, total kelompok tenaga kesehatan ada 48.
Pihak yang menolak RUU tersebut dibuat bingung pilihan apa yang akan diambil pembuat kebijakan. Apakah satu organisasi profesi untuk seluruh jenis tenaga kesehatan, atau satu organisasi profesi untuk menaungi setiap jenis tenaga kesehatan. Itu karena dokter dan dokter gigi, atau dokter umum dan dokter spesialis masing-masing punya peran yang berbeda dan visi misinya pun berbeda. Bila digabungkan semua, maka organisasi profesi akan sangat gemuk dan rancu.
RUU Kesehatan dinilai juga akan mencabut peran organisasi profesi. Bila RUU Kesehatan disahkan, maka nakes hanya perlu menyertakan Surat Tanda Registrasi (STR), alamat praktik dan bukti pemenuhan kompetensi. Tidak diperlukan lagi surat keterangan sehat dan rekomendasi organisasi profesi. Padahal, lanjut IDI, rekomendasi organisasi profesi akan menunjukkan calon nakes yang akan praktik itu sehat dan tidak punya masalah etik dan moral sebelumnya.
Pasal 206
Pasal yang dianggap kontroversial adalah pasal 206, khusunya ayat (3) sampai (5) yang menyebutkan bahwa standar pendidikan kesehatan dan kompetensi disusun oleh menteri.
Pasal 239 Ayat (2)
“Konsil kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri.”
Butir Pasal 239 ayat (2) juga dianggap kontroversial. Itu karena berdasarkan Pasal 239 RUU ini, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang sebelumnya independen dan bertanggungjawab langsung ke presiden, nanti akan bertanggungjawab kepada menteri. Bila ini disahkan, maka wewenang menteri akan sangat luas.
Pasal 462 Ayat (1)
Isi pasal tersebut intinya secara garis besar adalah tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian dapat dipidana.
Bunyinya: “Setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.”
Namun dalam pasal tersebut tidak ada penjelasan rinci terkait poin kelalaian yang dimaksud.
Pasal 154 Ayat (3)
Pasal kontroversi RUU Kesehatan selanjutnya adalah terkait tembakau dengan narkotika dan psikotropika yang dimasukkan satu kelompok zat adiktif.
Berikut isi lengkap pasalnya: “Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa narkotika; psikotropika; minuman beralkohol; hasil tembakau; dan hasil pengolahan zat adiktif lainnya.”
Penggabungan ini dikhawatirkan akan menyebabkan munculnya aturan yang akan mengekang tembakau nantinya, lantaran posisinya disetarakan dengan narkoba. Ini tentu akan menimbulkan polemik lain karena merugikan banyak pihak yang bekerja di industri tembakau. Apalagi industri tembakau merupakan industri yang memberikan dampak besar bagi negara.
(ibn/wep)