Dengan menimbang alasan tersebut, lanjut Harris, pemerintah berencana melakukan penyesuaian harga untuk masing-masing jenis energi baru dan terbarukan (EBT) yang diatur dalam Perpres No. 112/2022.
“Nanti tidak cuma geothermal. Misalnya, sekarang harga di lapangan masih sekitar 10 sen, tetapi sekarang sudah ada penawaran atau kontrak yang harganya sekitar 5,8 sen. Ini ke depan apakah turun lagi, misalnya sampai 4 sen? Nah, harga rata–rata ini kan harus dipertiimbangkan di dalam pengaturan harga ke depan yang ada di dalam peraturan menterinya nanti sebagai tindak lanjut dari perpres tersebut,” ujarnya.
Di dalam rencana revisi tersebut, lanjutnya pemerintah juga mempertimbangkan berbagai perkembangan di sektor EBT, termasuk kemungkinan insentif-insentif tambahan untuk implementasi energi terbarukan sebagai sumber daya listrik.
“Tentunya ini juga akan berpengaruh kepada biaya produksi dari panas bumi yang tentunya akan berpengaruh juga kepada harga jual listriknya dari perusahaan pembangkitnya dan juga PLN,” tutur Harris.
Sekadar catatan, Perpres No. 112/2022 mengatur tentang perjanjian jual beli tenaga listrik yang digunakan untuk berbagai jenis pembangkit listrik berbasis EBT. Meski demikian, peraturan tersebut masih memuat soal PLTU berbasis batu bara, yang notabene sumber energi fosil.
Beberapa pembangkit yang diatur di dalam perpres tersebut a.l. perjanjian jual beli uap panas bumi untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik tenaga surya fotovoltaik (PLTS), pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm), pembangkit listrik tenaga biogas (PLTBg), pembangkit listrik tenaga energi laut, pembangkit listrik tenaga bahan bakar nabati, dan PLTU batu bara.
(wdh)