Berdasarkan data Bloomberg, pada Juni 2022 kemarin IHSG bergerak koreksi 3,32%. Penurunan ini menjadikan angka tertinggi, menyusul koreksi yang terjadi pada Juni 2018 yang melemah mencapai 3,08%.
Namun, berdasarkan data historis pada 2021 IHSG juga sempat mencatatkan penguatan 0,64%. Pergerakan yang optimis ini melanjutkan tren positif dari Juni 2020 yang mencatatkan penguatan paling melesat sebesar 3,19%. Bersamaan dengan kenaikan 2,41% pada Juni 2019.
Pada Juni 2022, tekanan datang dari eksternal maupun internal. Kala itu, IHSG tertekan lantaran adanya isu resesi yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Juga tingginya inflasi yang mencapai 8,6% pada Mei 2022 silam.
Ditambah lagi dengan kenaikan suku bunga Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) hingga 75 bps menyebabkan capital outflow dan migrasi sejumlah dana investor bergerak ke aset yang lebih aman.
Kemudian, tekanan juga terjadi pada perekonomian dalam negeri. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor Indonesia hanya US$21,5 miliar pada Mei 2022. Mencermati data secara bulanan, nilai tersebut turun 21,29% (month-to-month/mtm).
Senada, nilai impor pada Mei 2022 juga terkontraksi 5,81% mtm. Dengan demikian, neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus sebesar US$2,89 miliar pada Mei 2022 dengan pencapaian yang melambat secara bulanan sebesar 61,77% mtm. Dibandingkan surplus April 2022 yang berjumlah US$7,56 miliar.
Untuk Juni 2023, ada beberapa sentimen dan katalis yang dapat mempengaruhi gerak IHSG yakni rilisnya data inflasi Indonesia. BPS melaporkan, inflasi berada pada level 0,09% pada Mei 2023 dibandingkan bulan sebelumnya mtm. Lebih rendah dibandingkan April 2023 yang sebesar 0,33% mtm sekaligus menjadi yang terendah sejak Oktober 2022.
BPS mencatat inflasi periode Mei 2023 disumbang oleh komoditas pangan, di antaranya adalah bawang merah, daging ayam ras, ikan segar, telur ayam ras, rokok kretek filter, dan bawang putih.
Sementara itu, inflasi secara tahunan (year-on-year/yoy) tercatat pada level 4%. Juga melandai dibandingkan dengan inflasi bulan sebelumnya yang sebesar 4,33% yoy sekaligus jadi yang terendah sejak Mei 2022.
Selain inflasi, pada pekan kemarin, Senin (29/5/2023) juga terdapat rilis data dari Bank Indonesia (BI), di mana BI melaporkan likuiditas perekonomian, atau uang beredar dalam arti luas (M2) pada April 2023 yang pertumbuhannya makin melambat.
Posisi M2 pada April 2023 tercatat hanya sebesar Rp8.350,4 triliun atau tumbuh 5,5% yoy, setelah pada bulan sebelumnya pertumbuhannya 6,2% yoy. Adapun pertumbuhan sebesar 5,5% yoy menjadi yang terendah sejak Januari 2019.
Selanjutnya pada Juni 2023 ini akan terdapat agenda laporan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), neraca perdagangan Indonesia termasuk angka ekspor dan impor, dan juga pengumuman penjualan ritel. Termasuk juga akan ada Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia terkait suku bunga acuan.
Adapun jika dibandingkan dengan indeks regional, atau rekan-rekannya di Asia, tercatat indeks Korea Stock Exchange atau KOSPI melemah 1,2%. Senada, Straits Times Index Singapore juga terdepresiasi 0,01%. Sementara itu, indeks Hang Seng Index Hong Kong mencatatkan penguatan 1,7% dan indeks Nikkei 225 Tokyo Stock Exchange naik 0,02% pada data rata-rata perdagangan saham dalam 5 tahun terakhirnya.
Jika mencermati lebih lanjut, koreksi paling dalam secara historis dihadapi oleh indeks KOSPI dengan minus 1,20%. Adapun kala itu pada Juni 2022 indeks KOSPI mencatatkan minus mencapai 13,15%.
Efek secara langsung dari meningkatnya kekhawatiran terhadap resesi ekonomi setelah kenaikan suku bunga yang agresif dari sejumlah Bank Sentral dunia jadi sentimen utama. Serta aktivitas net sell investor asing mencapai KRW 280,2 miliar pada papan utama indeks KOSPI.
(fad/aji)