Rabies kembali menjadi sorotan setelah tingginya kasus penyakit tersebut di Nusa Tenggara Timur (NTT). Bahkan di beberapa kabupaten/kota di provinsi tersebut telah ditetapkan kejadian luar biasa (KLB) rabies.
Imran menyebut, lonjakan kasus rabies khususnya di NTT belakangan ini diakibatkan oleh terhentinya vaksinasi ke hewan-hewan yang berpotensi menularkan rabies khususnya anjing akibat pandemi Covid-19. Lonjakan kasus rabies mulai terasa pada 2022 ketika masyarakat mulai beraktivitas seperti sebelumnya.
“Mungkin pada 2020 karena manusianya masih di rumah, dia tidak bersinggungan dengan hewannya sehingga masih tidak terlalu tinggi. Kemudian naik tahun 2021 dan puncaknya 2022. Kan sudah ada pelonggaran-pelonggaran, kemudian efektivitas vaksin yang disuntikkan ke hewan juga mulai menurun sehingga terjadi lonjakan luar biasa pada 2022," tuturnya.
Adapun untuk saat ini dalam menangani kasus rabies, Kemenkes mengirimkan dan menyiapkan serum antirabies (SAR) dan vaksin antirabies (VAR) di fasilitas kesehatan yang ada di wilayah-wilayah dengan risiko rabies tinggi.
SAR akan diberikan kepada korban yang mengalami gigitan dengan luka risiko tinggi. Pemberian serum tersebut adalah untuk memberikan kekebalan pasif dalam rentang sepekan pertama lantaran pada masa itu belum terbentuk imunitas terhadap virus rabies.
VAR terdiri dari vaksin kering dalam vial dan pelarut 0,5 ml dalam syringe atau jarum suntik yang diberikan kepada korban gigitan rabies. Vaksin tersebut disuntikkan di lengan atas atau paha untuk anak di bawah satu tahun.
(rez/ezr)