Dalam proporsional terbuka kata dia, praktiknya lebih tampak karena melibatkan pemilih secara langsung. Namun bisa jadi uang yang beredar dalam praktik transaksional nomor urut di proporsional tertutup angkanya lebih besar. Kedua sistem ini sama-sama membutuhkan penegakan hukum yang efektif meski tantangan pada proporsional terbuka disebut lebih besar.
Namun demikian Titi mengatakan, berdasarkan pembelajaran pemilu Orde Baru maka Indonesia memang memilih beralih ke proporsional terbuka karena dalam sistem proporsional tertutup, partai politik tidak responsif atau out of touch. Pula dianggap berpotensi besar korup dalam penentuan ataupun keterpilihan calon.
Sistem tertutup ini juga dianggap sebagai sumber persoalan yang mereduksi peran pemilih untuk menentukan wakilnya secara langsung (candidate based). Kandidat terpilih sebagian besar adalah elite atau pimpinan partai. Beberapa kandidat yang memiliki modal finansial juga cenderung bisa membayar agar dapat nomor urut atas di daftar.
"Akibatnya terjadi party dictatorship dan party oligarchy," tutupnya.
(ezr)